Cerita Sang Awan
Sabila Aisyah Putri
Secepat air hujan jatuh ke bumi, secepat angin bertiup,
secepat kilat menyambar, secepat sendal hilang di mesjid, secepat itulah waktu
berlari, tak tunggu-tunggu manusia yang linglung dipermainkan waktu. Walau
bagaimanapun, sudah hukum alam bahwa segala sesuatu di dunia ini mengikuti
kehendak Tuhan-Nya. Setiap energi yang kekal, gaya yang muncul, gerak yang
dipercepat, semuanya tunduk pada keagungan-Nya. Melawan hukum alam sama saja
seperti bernapas di ruang hampa. Mustahil.
Tapi
tidak seperti yang aku alami sekarang. Yang sedang menghirup udara dari ruang
hampa. Aku terduduk di sebelah tanah yang masih merah. Bunga bertaburan
diatasnya, masih segar. Diujungnya, tertancap nisan yang masih baru. Para
pelayat masih bertaburan di sekitar makam, berdo’a, lalu satu persatu undur
diri, pulang. Rinai gerimis turun, syahdu. Aku termenung memandangi kuburan. Di
sampingku ibu sedang terisak. Menggendong adikku yang masih berumur satu tahun.
Di sebelahnya lagi abangku, membisu, membelai ibu, menenangkan. Aku tak
menangis. Tak ada yang perlu ditangisi. Hidup harus berlanjut, apa pun alasannya, apa pun resikonya.
Tapi ya
Tuhan, mengapa? Lihatlah adikku,
umurnya baru berbilang satu, dengan muka menggemaskan belum mengerti apa yang
terjadi. Jerih membayangkan dia tumbuh tidak mengenal ayahnya. Dan lihatlah
abangku. Remaja tanggung itu sudah menanggung beban orang dewasa. Terlebih
ibuku, menanggung semuanya sendirian. Pedih hati melihat semuanya.
Langit
mendung semendung hatiku. Hujan menderas membuat hatiku kuyup. Berat langkah
kaki meninggalkan pemakaman, menyisakan jejak kaki di kubangan lumpur. Aku
menengadah ke langit, membiarkan air hujan menerpa wajahku, membersihkan
sisa-sisa sendu disana. Hari ini, menit ini, detik ini, kehidupan yang baru
dimulai tak tanggung-tanggung.
***
‘I wanna paint
down my memories, so I don’t forget. Can we dance when it’s cold outside, can
we live with no regrets?’
Hari itu
hujan turun. Rintik airnya berirama menenangkan, mengundang kodok-kodok pinggir
kali ikut meramaikan suasana, saling bertasbih kepada-Nya. Aku duduk melamun
memandang keluar jendela yang berembun, segelas coklat panas mengepul menemaniku.
Selangkah dari sana, ayah sedang menyandar di sofa, menonton berita sambil
menghangatkan badan, juga dengan segelas coklat panas. Dari dapur terdengar ibu
sedang bersenandung riang menyiapkan makan malam. Dan abangku, ah mungkin dia sedang
sibuk dengan komputernya, terpisah di dunianya sendiri.
Aku
tersenyum. Lihatlah rintik air hujan itu. Jatuh dengan irama yang teratur,
tunduk pada hukum gravitasi, pecah saat mencapai tanah, atau mengembun di
jendela, lalu dengan perlahan meliuk turun membentuk kanal-kanal. Indah sekali.
Hujan selalu menyimpan cerita indah tersendiri dalam kenangan.
“Hilwaa!
Sini duduk sama papa, papa mau cerita.” Ayahku, yang sedang break menonton berita, kini tersenyum
memandangku, tangannya membuka dengan posisi siap memeluk. Aku berlari ke
pangkuannya, tertawa. Ayah segera mengangkatku ke pangkuannya, membelai
rambutku lalu mulai bercerita.
“Tahukah kau kisah tentang hujan? Bagaimana kerajaan
langit yang di pimpin raja awan bersemayam di atas sana?”
Untuk
anak tujuh tahun sepertiku aku hanya menggeleng, menunggu cerita ayah,
menebak-nebak. Demi melihat mata putri kecilnya membulat menggemaskan penuh
rasa penasaran, ayah tersenyum mengacak-ngacak rambutku.
“Okelah.
Tapi janji sama papa, Hilwa jadi anak baik, oke?” ayah mengangkat sebelah
tangannya, yang aku sambut dengan semangat. Ayah mulai bercerita.
“Dahulu
kala, di kerajaan langit hiduplah seorang raja dengan seorang putri kecilnya
yang cantik. Seperti papa dan Hilwa.” Sambil mengucapkan itu ayah menggelitikku.
Aku tertawa sambil berusaha menghindari tangannya yang lincah. Ayah lalu
melanjutkan ceritanya, “Ketahuilah, bahwa segala sesuatu sudah ditakdirkan
dengan baik, tergurat dalam garis takdir yang indah. Itu berlaku untuk semua
hal yang ada di dunia ini. Sama halnya seperti papa dan Hilwa yang ditakdirkan
menjadi manusia, Raja awan dan putrinya ditakdirkan menjadi awan. Mereka
mengarungi luasnya langit bersama, diiringi pasukannya yang banyak sekali. Saat
siang meneduhkan matahari, malam menjaga mimpi-mimpi yang melesat. Berbagi
manfaat kepada sesama. Itulah hakikat hidup yang sebenarnya.
“Tapi
putri awan merasa kesepian. Dia merasa tidak mempunyai teman. Dia mulai tidak
puas dengan keadaannya. Mengapa dia harus menjadi awan? Mengapa tidak angin
saja, terbang kemanapun dia mau, menjadi teman burung dan putik bunga. Atau
kenapa tidak seperti burung-burung itu saja, mereka mempunyai keluarga, hidup bersama,
bercengkerama. Tidak seperti dia yang hanya ditemani ayahnya. Meskipun banyak
awan-awan lainnya yang menjadi pasukan ayahnya, tapi tak ada yang menjadi
temannya.
“Pada
suatu hari dia mengadu pada ayahnya, mengeluh bahwa dia ingin mempunyai seorang
teman. Ayahnya tersenyum lalu berkata ‘Apakah putriku tidak bersyukur menjadi
awan? Lihatlah sekelilingmu, putriku. Angin, matahari, burung-burung, mereka
semua adalah temanmu. Bahkan manusia-manusia kecil di bawah sana pun adalah
temanmu. Karena teman selalu memberikan manfaat kepada temannya yang lain.
Seperti yang kita lakukan pada mereka.’ Sang raja awan lalu melanjutkan
petuahnya ‘Hidup juga penuh dengan pengorbanan. Kita terbentuk dari titik-titik
air. Dan kita akan berakhir menjadi air kembali. Tak lama lagi kita akan
berubah menjadi hujan, menurunkan rahmat kepada bumi. Itulah tahap terakhir
pengabdian kita kepada sang pencipta. Itulah hakikat hidup sebenarnya.
Memberikan manfaat hingga tetes terakhir.’
”Bersamaan
dengan itu, angin dan petir datang, tubuh ayahnya yang sudah berat dengan
titik-titik air berubah gelap, akhirnya turun dengan perlahan ke bumi, menggenapkan
pengabdiannya. Hilanglah sudah ayahnya, berubah menjadi hujan. Putri awan
bersedih, tapi tak lama kemudian matahari bersinar, lalu membiaskan titik-titik
air jejak ayahnya menjadi warna-warna yang berkilauan, warna-warna yang indah..
itulah pelangi. Tuhan mendengar do’a putri awan, dengan mengirimkan pelangi
sebagai temannya, meskipun melalui pengorbanan ayahnya. Terkadang, untuk
mendapatkan sesuatu yang indah dalam hidup harus disertai dengan pengorbanan.
Karena pengorbanan adalah hidup itu sendiri.”
Aku
terkesima mendengarkan cerita ayah. Mulutku sedari tadi membuka, membayangkan
keindahan pelangi yang diceritakan itu. “Lalu, apakah putri awan itu bahagia?
Apakah dia masih sedih karena ditinggal ayahnya pa?”
“Tentu
saja tidak, sayang. Memang awalnya putri awan itu sedih, tetapi seiring
berjalannya waktu dia akhirnya memahami arti dari pengorbanan itu. Kelak, dia
sendiri yang akan mengikuti jejak ayahnya, ketika waktunya sudah tepat. Dia
akan melakukan pengorbanan, tanpa ragu, memberikan manfaat terakhirnya pada
bumi. Dan menciptakan sesuatu yang indah” Ayah tersenyum kepadaku. Ah,
senyumnya sangat menenangkan. Senyumnya seperti pelangi.
Seperti
sebentuk pelangi yang muncul dihatiku. Aku sudah berjanji akan menjadi anak
baik. Dan akan aku penuhi janji itu. Tapi hidup pun mempunyai janji-janji lain
yang telah diguratkan dalam garis takdir. Janji yang pada akhirnya akan ditagih
saat waktunya sudah tepat.
***
Aku
tersenyum mengenang memori itu. Terkadang,
untuk mendapatkan sesuatu yang indah dalam hidup harus disertai dengan
pengorbanan. Karena pengorbanan adalah hidup itu sendiri. Aku masih
menengadah, menampung semua air hujan yang turun, menampung rahmat dari
pengorbanan terakhir sang awan. Sama seperti yang dilakukan ayahku. Dia benar,
hidup adalah pengorbanan, dan percayalah saat waktunya tiba, itu adalah waktu
yang tepat. Karena dibalik semua itu pasti ada alasan yang tersimpan rapi,
menunggu untuk ditemukan. Meskipun sekarang aku tidak memilikinya, tak mengapa.
Suatu saat semua pertanyaan itu akan terjawab, alasan itu akan ditemukan.
Bukankah garis takdir telah diguratkan dengan rapi dan indah? Yang aku perlukan
hanyalah menjalaninya, mensyukurinya, lalu mengguratkan garis-garis indah itu
sendiri.
Aku
menatap tanah bernisan itu sekali lagi. Lalu tersenyum. Lihatlah itu, di langit
terbentuk dengan indah pelangi yang dijanjikan. Sang awan telah mencapai akhir
perjalanannya. Namun anaknya, putri awan baru saja memulai petualangannya. Aku
melangkah dengan yakin, memulai petualanganku yang baru. Karena, cerita yang sesungguhnya
baru saja dimulai.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Cerita Sang Awan - Sabila Aisyah Putri - Lomba Menulis Cerpen"