-->

Cerpen Kompas: “Requiem”


Kali ini saya akan membagikan sebuah cerpen yang saya dapatkan dari koran kompas. Cerpen bertema...... (saya sendiri sulit menentukan temanya. Silahkan cari sendiri temanya). Cerpen ini sudah diterbitkan di koran kompas. Yang penting ceritanya sangat, sangat, sangat menarik. Selamat menikmati!

Untuk mendownload, klik link dibawah



Cerpen Kompas: “Requiem”

Sebelum mati, aku masih ingat tubuhku melenting: kakiku berkelejotan mencari tumpuan, sedangkan kepalaku menjadi tumpuan di ujung lainnya. Lalu seluruh tubuhku meregang, seolah menolak kehendak malaikat maut yang membetot nyawaku.

Waktu itu, samar masih kudengar tik-tak jam di dinding kamar. Suaranya seperti sebuah requiem. Kemudian secara perlahan-lahan aku melihat kaki, tangan, kepala, dan seluruh tubuhku melayang…
Ketika berhasil berdiri, istriku tampak sibuk memencet-mencet tombol telepon. Aku juga masih ingat ketika kemudian keponakanku membopong tubuhku sendirian menuju mobil yang dipinjam dari tetangga. Ia bergegas memanggil Magenta, istriku, untuk memangku kepalaku di jok belakang.

Dalam 30 menit, mobil sudah sampai di ruang ICU sebuah rumah sakit. Waktu aku dibaringkan di tempat tidur dan selang-selang dipasang di tangan serta mulutku, aku sebenarnya tak berharap untuk hidup kembali.

Magenta mungkin tak tahu bahwa aku menangis di bahunya, ketika ia hampir-hampir histeris meminta agar dokter segera memberi pertolongan. Air mataku bahkan membasahi sebagian baju tidur yang dikenakannya malam itu. Mungkin ia mengira itu keringatnya sendiri yang keluar karena tegang dan putus harapan menyaksikan penderitaanku.

Dokter aku lihat geleng-geleng kepala. Hanya mungkin karena gelengannya perlahan, Magenta tak begitu memerhatikannya. Tetapi ketika ia berucap, ”Ibu yang tabah ya…. Ini mungkin hanya cobaan awal,” istriku mulai meraung. Selain menuding-nuding para medis yang dinilainya tak becus memberi pertolongan, Magenta juga membentak-bentak keponakanku. Ia menuduh keponakanku sengaja melambat-lambatkan laju mobil agar nyawaku tidak tertolong. Padahal aku tahu, keponakanku itu sudah menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Tetapi karena jalanan yang berlubang, maka mobil terpaksa dizig-zag. Zig-zag itulah menurut Magenta sebagai cara keponakanku untuk memperlambat waktu tiba di rumah sakit.

Ketika Magenta mulai agak tenang, kudengar dokter berbisik di telingaku, ”Kamu mesti temukan jalanmu. Kalau ketemu persimpangan, lurus terus, terus, nanti di depan ada gerbang besar dengan seorang berambut aneh yang menjaganya.” Lalu ia minta bicara berdua dengan Magenta di ruangan sebelah yang hanya dibatasi tirai putih.

Tiba-tiba tik-tak jam dinding lagi-lagi terdengar seperti requiem yang dikomposisi khusus buatku. Nada-nada yang mengalir perlahan mencopoti tubuhku bagian demi bagian. Dengan latar awan dan langit yang beku, aku seperti benda yang tak memiliki gravitasi. Cuaca di sini begitu dingin. Matahari hanya sebentuk benda lembut yang beku. Sinarnya adalah selang-selang yang meneteskan serpihan es. Ketika kurasakan angin perlahan berembus, tubuhku malah terseret makin jauh… dan tersedot ke dalam lubang hitam yang dalam.

Terakhir aku dengar dokter berkata kepada Magenta bahwa aku telah mati karena gula darah yang anjlok. ”Ibu terlambat membawa dia kemari. Tubuh suami Ibu meregang karena gula darahnya anjlok. Ia pingsan sudah terlalu lama…. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali berharap Ibu tetap tabah. Suami Ibu hanya pulang….”

”Apakah seorang dokter harus mengucapkan kata yang sama dengan seorang pendeta di saat-saat seperti ini?” teriak Magenta. Ah, perempuan itu memang jarang memikirkan kata-katanya sebelum diucapkan. Ia tak berpikir bisa saja dokter marah kepadanya. Dan jasadku akan terkatung-katung di rumah sakit ini.

Mereka bisa saja berpura-pura ingin tahu penyakit apa sebenarnya yang membunuhku. Lalu melakukan otopsi dengan mengiris-iris bagian demi bagian jasadku yang sudah kurus ini. Ah, pastilah sangat mengerikan menyaksikan tubuh sendiri diiris-iris dengan pisau-pisau yang besar….
”Seorang dokter atau pendeta bukankah hanya dibedakan oleh jenis pekerjaannya,” jawab dokter kemudian dengan maksud menenangkan. Magenta tercenung. Ia menghentikan teriakannya, kemudian lunglai menggelesot di lantai…. Aku kasihan padanya.

Kata-kata dokter itu benar juga. Ketika tadi aku berjalan lurus setelah bertemu dengan persimpangan, aku kini sampai di sebuah pintu besar berukir dengan motif dedaunan dan bunga. Tak jelas benar berfungsi sebagai apa gerbang itu, karena ia seperti digantungkan begitu saja di serpih awan. Sedekat ini, aku hanya melihat seorang tua renta dengan tongkat kepala naga. Ia berdiri tepat di tengah belahan kedua daun pintu.

Lelaki tua itu tak menegur dan hanya berucap pelan, ”Dosamu terlalu banyak, kembalilah.” Aku tak mengerti, yang kuingat kemudian aku mungkin sudah bertahun-tahun berjalan untuk menggapai gerbang itu. Kulintasi segala gurun, lembah, hutan dan hujan, segala terik dan batu-batu, belum juga aku mampu melewatinya. Bahkan aku pernah terombang-ambing dalam amukan badai petir dan kilat yang berkecamuk seperti menerkamku. Toh aku masih di sini, tetap berada di depan pintu.

Tetapi apakah dokter itu pernah mati? Kalau begitu aku makin paham sekarang, bahwa benar belaka kematian bukan akhir dari segala kehidupan. Sekarang ketika aku kembali di sini menjadi seekor anjing, segalanya masih kuingat. Aku masih ingat perempuan tua yang menjadi majikan besarku sekarang tak lain adalah Magenta. Mungkin usianya sudah mencapai 80 tahun, tetapi ia masih bersikeras tak mau menggunakan kursi roda.

Hari Minggu lalu, ketika ia jatuh di kamar mandi dan aku berteriak-teriak mengabarkannya kepada seluruh penghuni rumah, Marjolin, cucu perempuan kesayangan Magenta, sudah mengusulkan agar ia memakai kursi roda pemberian kakek. Entah mengapa Marjolin punya kepedulian yang begitu dalam terhadap kursi roda itu. Kursi roda itulah yang pernah kuhadiahkan kepada Magenta ketika ulang tahun perkawinan kami yang ketujuh. Aku ingat, ia marah-marah dan menuduhku mengada-ada. Kursi itu, katanya, semacam doa pengharapanku agar ia lumpuh. Kemudian aku bisa bebas bersenang-senang dengan perempuan lain.

”Kamu ini suami aneh, kok justru mengharapkan istrinya duduk di kursi roda. Kalau maksudnya agar kamu lebih bebas bermain-main dengan perempuan lain, tak perlu pakai cara-cara halus seperti ini,” kata Magenta. Ketika melihat aku tak bereaksi dan tenang saja menggosok gigi di wastafel dekat kamar mandi, setengah berteriak Magenta bilang, ”Potong saja kakiku, kalau itu maumu…!”

Sekarang aku menyesal karena waktu itu berpura-pura tak mendengar. Mestinya aku tahu perkataan Magenta itu, sebagai bukti betapa dalam cintanya kepadaku. Seharusnya aku berusaha menjelaskan bahwa hadiah kursi roda itu pun juga sebagai bentuk pernyataan cinta sejatiku kepadanya. Kursi roda hanya simbol bahwa aku ingin hidup dengannya sampai tua nanti. Sampai kami berdua benar-benar tak bisa berjalan dengan kaki kami sendiri.

Rasa penyesalan yang dalam serta keinginan kuat untuk menebus kesalahan kepada Magenta itulah, barangkali yang membuat aku tetap bisa bersamanya sampai kini. Usia kami jauh berbeda. Magenta sekarang sudah 80 tahun, sementara aku belum genap lima tahun. Kehadiranku dalam keluarga ini berkat rasa belas kasihan Marjolin yang memungut aku dari got di depan rumahnya.

Ketika usiaku baru satu hari, majikanku pertama, yang tinggal di sebuah gang sempit di belakang rumah Magenta, membuangku ke dalam got. Aku dengar dia bilang, anjing betina tidak terlalu berguna, paling-paling hanya bikin rusuh kampung. Ketika musim kawin tiba, anjing-anjing jantan akan berkeliaran di sekitar gang. Belum lagi, katanya, kalau aku kawin dengan cara berenteng-renteng, akan menambah heboh seluruh kampung.

Ketika Magenta jatuh untuk ketiga kalinya, ia benar-benar tak bisa menolak saran Marjolin. Kursi roda yang selama ini diletakkan di samping kursi lainnya, di mana Magenta biasanya menonton televisi, terpaksa ia pakai. Dan itulah puncak kebahagiaanku. Magenta tampak mencoba menggeser-geser roda kursi beberapa kali. Ia bahkan beberapa lama sempat berkeliling ruangan. Diam-diam aku mendekat dan menjilati kakinya. Mudah-mudahan ia ingat, hal yang sama pernah kulakukan ketika malam pertama pernikahan kami.

Aku masih ingat benar bagaimana Magenta menjerit-jerit manja sembari mengatakan geli. Kami lantas bergumul semalaman sampai matahari benar-benar menembus celah gorden warna cerah kesukaannya. Sekarang Magenta hanya mengelus kepalaku. Itu pun kuperhatikan tidak sungguh-sungguh karena tangannya yang lain sibuk memencet-mencet tombol remote control televisi. Tetapi aku ingat, gerakan jarinya persis seperti ketika ia memencet-mencet tombol handphone sesaat sebelum aku mati.

Ketika ia menemukan channel yang menurutnya pantas dilihat oleh seluruh anggota keluarga, Magenta berteriak-teriak panik. Berkali-kali ia memanggil Marjolin, yang kebetulan saat itu sedang di kamar mandi. Aku lihat di televisi orang-orang panik, sementara sebuah gedung tampak terbakar. Asap hitam mengepul di antara puing-puing kaca serta mobil-mobil yang terbakar.

”Jolin, cepat… aku sudah jemu jadi saksi atas semua ketidakadilan ini. Bom meledak lagi. Ah, Tuhan, mengapa sejak dulu aku hanya jadi saksi dari kematian demi kematian. Jolin, besok pesankan saja peti mati dan sepetak tanah kuburan. Aku sudah lelah disuguhi kiamat semacam ini…,” Karena Marjolin tak juga keluar, aku menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan kakiku.

”Jolin… cepatlah. Jangan biarkan aku sendirian menjadi saksi…,” teriak Magenta histeris. Ia tampak tak berdaya, bahkan sekadar mengganti channel televisi pun ia tak sanggup.

”Ada apa, Oma?” buru-buru tanya Marjolin sesaat kemudian.

”Aku tak sanggup lagi disuguhi kematian demi kematian. Sejak kakekmu mati mendadak dulu, seperti tak ada harapan lagi buatku untuk hidup. Besok kamu pergi ke pasar, pesankan aku peti mati dan bunga dukacita atas namaku sendiri….”

Sebelum Marjolin berkata aku meraung di kaki Magenta, persis sewaktu ia mendengar rintihanku saat-saat menghadapi maut. Mungkin ia tak pernah sadar kalau aku benar-benar menangis seperti bayi yang kaget melihat dunia. Aku juga kaget, mengapa secepat itu harus mati dengan cara yang menyakitkan banyak hati.

”Oma? Oma… sadar Oma…,” Marjolin histeris melihat Magenta lunglai di atas kursi roda. Secepat kilat aku berlari keliling rumah dengan maksud mengabarkan keadaan Magenta. Setelah melihat seluruh ruangan kosong, aku berlari ke depan rumah mencari pertolongan. Tetapi tak seorang pun tampak.

Aku malah berjumpa seorang tua dengan tongkat kepala naga yang kutemui dulu di gerbang yang besar itu. ”Ia sudah lelah, sudah saatnya kembali. Relakan saja…. Kamu harus di sini, sampai benar-benar terbebas dari ikatan duniawi,” katanya.

”Apakah Anda malaikat?” tanyaku.

”Bukan, aku seseorang yang selalu membawa buku besar tentang segala perbuatan manusia, termasuk segala prilakumu saat kau terlahir seperti sekarang?”

”Terlalu besarkah dosaku di masa lalu sehingga terlahir sebagai anjing?” tanyaku mengambil kesempatan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia tiba-tiba melayang memasuki rumah kami. Di ruang dalam, Marjolin menangis sejadi-jadinya, saat yakin Magenta telah tiada. Ia tak tahu kalau lelaki tua bertongkat kepala naga itu telah membawanya melayang, melewati kisi-kisi jendela.

Aku paham sekarang mengapa Derida, suamiku, meregangkan tubuhnya ketika menghadapi maut dulu. Itulah rupanya cara dia melawan kehendak waktu. Sewaktu ruhku meloncat dari tubuhku, aku dengar tik-tak jam yang kupajang di atas televisi, menjadi requiem yang mengantar kepergianku. Aku juga tahu, Derida berlari-lari ke setiap kamar dan ke halaman untuk mencari pertolongan. Itu juga cara dia untuk melawan malaikat maut yang hendak menjemputku.

Mungkin karena kehendak untuk terus melawan tanpa henti itu, ia terlahir sebagai anjing. Padahal aku tahu, selama ini ia begitu setia, lelaki yang memendam merahnya cinta seumur-umur sampai harus mengada dalam wujud yang sangat terlambat kukenali.

Tag : Cerpen
1 Comments for "Cerpen Kompas: “Requiem”"

Back To Top