-->

Sepenggal kisah dari Rembang - Wendhy Rachmadhany - Lomba Menulis Cerpen

Sepenggal kisah dari Rembang
Wendhy Rachmadhany

           Aku tinggal di Rembang, sebuah wilayah yang berada di pesisir pantai utara Jawa yang begitu langka akan sumber air namun kaya dengan sumber daya hutan terutama kayu jatinya. Jauh sebelum Indische Compagnie1 muncul sebagai bangsa kuat dan kemudian mengeksploitasi kekayaan alam Rembang, hutan Jati yang mengelilingi tempat tinggalku ini telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk memenuhi kebutuhannya seperti membuat peralatan rumah tangga, untuk kayu bakar, juga sebagai bahan baku pembuatan gubuk-gubuk sederhana. Kami hidup di alam yang sungguh luar biasa tapi terlalu primitif untuk memanfaatkannya.
         Waktu itu aku masih setinggi pohon jagung yang berumur satu bulan, terlahir di pelosok terdalam kabupten Rembang kemudian menjadi saksi perjuangan semua orang yang hidup dengan keadaan tanah kering dan mengandung kapur, sungguh tidak menguntungkan untuk pertanian. Aku tidak pernah menjumpai gerobak yang membawa atau mengangkut hasil pertanian, tidak ada petani kaya dengan pakaian yang bagus dan menampilkan air muka yang cerah tanpa beban penderitaan.
        Semua kegiatan masyarakat sengaja difokuskan kompeni untuk heerendiensten2  dan kompeni mengharuskan penebangan semua kayu jati yang berderet di sepanjang lereng gunung kapur, mereka akan memanfaatkannya untuk membuat berbagai bangunan penting seperti gudang, benteng, kapal-kapal dagang dan untuk menguatkan tanggul penahan gelombang laut (zeeweringen). Masyarakat yang tinggal di sekelilingku semakin jatuh dalam penderitaan yang menyedihkan.   
       Hidupku jauh lebih beruntung daripada anak-anak seumurku, Bapak adalah seorang Juru Wana3   yang memiliki kemampuan ekonomi jauh lebih baik dari orang-orang Blandong4 pada umumnya. Oleh para kompeni Bapak dijadikan boneka untuk mengawasi kerja para Blandong. Ia berusaha membesarkan aku seperti malaikat. Namun ia seperti masyarakat Jawa Rembang pada umumnya, meyakini Islam sebagai agamanya tetapi menyembah leluhur di setiap harinya. Suatu kontradiksi yang sangat unik.
               Kata Bapak asal-usulku dan orang Blandong sebenarnya berasal dari orang Kalang. Sebuah suku volksstam5 di Jawa yang hidupnya berpindah-pindah dari hutan satu ke hutan lainnya. Pada zaman Sultan Agung Mataram hidup mereka sudah mulai menetap. Mereka memang sengaja di tempatkan di tengah hutan sebagai penunggu hutan jati Rembang. Hidup mereka begitu tergantung kepada alam, menjalankan ritus agama yang sangat berbeda dengan orang Jawa pada umumnya. Mereka menganggap hutan sebagai sumber hidup mereka, hingga mereka terus berkembang biak menjadi masyarakat yang hidup di tengah hutan. Kedatangan Belanda dan perusahaan dagangnya ke tanah Rembang telah mengubah peran mereka sebagai masyarakat yang bebas menjadi masyarakat kelas bawah yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan Hindia Belanda akan kayu jatinya. Sejak saat itu mereka mendapatkan sebutan Blandong dan mulai saat itu juga mereka diperlakukan dengan tidak adil, menjadi budak kerja paksa di tanahnya sendiri.
          Bapakku percaya dengan pendidikan Islam, semua masyarakat Blandong yang hidup di tengah hutan jati bisa keluar dari kesengsaraan. Aku dikirim ke sebuah tempat belajar Islam di daerah Karangmangu6.  Pesantren yang sangat sederhana dengan sistem pembelajaran lebih merujuk pada Halaqah7. Hampir semua proses pendidikan Islam diadakan di Surau yang saling terhubung dan bersekat kain sebagai kelas-kelasnya. Tidak ada bangku, meja dan papan-tulis, kami para santrinya hanya duduk bersila lalu dengan tekun mempelajari Quran, tarikh Islam, akhlak dan sedikit ilmu bumi. Semua yang ada Pesantren tersebut merupakan sebuah keistimewaan mengingat begitu sulitnya hidup di Rembang pada saat itu.
          Di sana aku mulai mengenal kata Jihad atau Al Jahdu yang merupakan penolakan atas sesuatu yang kita dibenci yaitu perbuatan orang-orang kafir yang begitu dzolim. Menurutku kepentingan jihad oleh kaum muslimin harus dilakukan untuk mengakhiri semua kesewenang-wenangan yang kami alami ini. Para kompeni dan perusahaan dagangnya memperlakukan masyarakat pedalaman hutan jati Rembang, Blandong, dengan tidak manusiawi. Kami diperlakukan jauh lebih buruk dari pada Asu8 peliharaan mereka. Jihad fi sabilillah menjadi sebuah slogan yang selalu membara di dalam hati dan harus segera dituntaskan.
         Dari hari ke hari aku tekun mendalami Islam dan Jihad-nya, aku seperti tersadar bahwa aku bukanlah orang pertama yang merasakan marah, ketakutan bahkan muak dengan perlakuan para kompeni. Aku tidak sendiri. Demi Allah aku akan bersungguh-sungguh berjuang. Ada banyak santri yang ada di Karangmangu mengalami kegelisahan, sama dengan apa yang aku rasakan pada saat tinggiku hanya setinggi jagung berumur satu bulan. Tapi di tempat yang cahayanya selalu berpendar ini aku yakin akan segera tercipta perubahan. Kami  akan segera melukiskan kemenangan.
                                                                                ***
      Di Karangmangu Kiai, Murabbi9 dan para santrinya mulai dianggap berbahaya untuk keamanan dan ketertiban. Orang-orang Blandong memang telah mengikuti seruan kami untuk berjihad. Mereka mulai berani melawan pemerintah Hindia. Sistem perburuhan kayu jati dan sistem pembagian upah mereka nilai sudah sangat tidak adil. Hanyalah stategi licik para kompeni bajingan!.
      Adanya pemberontakan di sejumlah daerah di Jawa membuat pemerintah Hindia Belanda mulai kehabisan modal untuk meredamnya. Cahaya sudah mulai berpendar dimana-mana dan harus segera dilakukan suatu pengawasan yang ketat bahkan pembersihan terhadap siapa-pun yang berani melawan. Aktivis Belanda, Ch. O van der Pas, seorang ahli tentang Islam didatangkan khusus dari Aru10  untuk menangani pergerakan Islam yang ada di Rembang.
       Kami pun dipenjarakan di penjara sentral wilayah (gewestelijke centralen). Bangunan suram itu seperti sebuah benteng pertahanan yang dibangun berbentuk U dengan dua lapis tembok. Pada bagian lapis luar gedung dijadikan semacam tempat bagi sipir, sementara bagian dalam khusus untuk para tahanan. Ruang tahanan dibagi lagi menjadi 25 ruang kecil, setiap ruang tahanan hanya ada jendela kecil,  bersel gelap tidak ada pencahayaan sama sekali, semua aktivitas dari sholat sampai buang hajat harus dilakukan di dalam ruang kecil pengap itu. Kami melihat dengan seksama, melewati satu persatu sel, semakin ke dalam memasuki penjara ruang D (bangsal besar), rongga hati kami semakin tersulut api.
      Kami memasuki lorong-lorong penjara dengan meng-Agungkan nama Allah. “ Allah hu Akbar!!!....  Allah hu Akbar!!!.... Allah hu Akbar!!!.... Allah hu Akbar!!!....”, suara Takbir memantul ke seantero ruangan hingga membuat ricuh namun polisi-polisi NICA11 tidak bertindak apa-apa. Kami berada dalam daerah mereka, kami berada di tengah-tengah daerah musuh. Di sana ada Pamong-Prajanya12, ada Qadhi13-nya, dan ada juga pemuda-pemuda pribumi sebagai prajurit yang menjaga isi tempat tahanan ini.
       Mungkin kami akan dibinasakan atau mungkin  akan benar-benar disiksa agar mau bergabung dengan kompeni untuk menjadi bagian dari antek-anteknya. Tapi menurutku mati dengan cara apapun yang diinginkan oleh para kafir itu merupakan hal yang lebih baik dari pada harus bergabung bersama mereka, kami jauh lebih memilih mati Sahid daripada harus mengemis kebebasan kepada mereka.
     Sepanjang pagi hingga larut malam, kami khusyuk tak henti-hentinya membaca doa-doa dan  kalimat Istigfar. Kami harus saling menguatkan dan percaya ada kekuatan besar yang akan segera menolong kami. Kekuatan itu adalah Allah yang akan mendatangkan rahmat dan ketegaran pada kami hamba-Nya yang tak menyerah. Bagi kami merupakan kewajiban umat muslim untuk melawan kemungkaran lalu menegakkan Islam sebagai bentuk ketaqwaan kepada-Nya.
       Di semua waktu yang terasa lengang seperti ini, lorong-lorong sempit di penjara tak ada bedanya dengan kuburan yang keberadaannya hanya untuk mengingatkan orang pada kesepian dan kematian. Aku menjadi bagian dari kuburan itu yang seolah setiap sudut dari penjaranya tengah menertawakan serta mempecundangiku. Sekat kosong itulah yang tiba-tiba menyeret aku ke dalam potongan-potongan masa lalu. Masih begitu jelas aku mengingat tentang betapa bangganya bapakku ketika aku pulang dari Karangmangu ke rumahku yang ada di pelosok hutan jati. Aku pulang dengan menggunakan pakaian rapi, serba putih dan dengan menggunakan kopiah bundar berwarna hitam. Senyuman Bapakku begitu lebar. Begitu jelas rasa bangga ada di dalam hatinya.  
        “ Wah-wah anaku ganteng tenan to iki... Slamet saiki wis dadi santri, wis pinter moco Qur’an14” seru bapakku dengan suaranya yang besar dan tawanya yang begitu renyah. Mengingat kejadian itu membuat perasaanku begitu membuncah.
        Belajar di pesantren dan menjadi santri merupakan sebuah tingkat derajat yang lebih tinggi bagi keluarga Blandong, kacung Belanda, yang tak pernah tahu satu huruf pun. Aku menjadi awal dari perubahan itu. Waktu itu aku sudah cukup besar untuk mengerti tentang betapa besarnya harapan Bapak kepadaku. Bapak begitu bangga dan aku tidak ingin menyia-nyiakan harapannya yang sudah terlanjur menggunung itu. Entah seperti apapun nanti, apakah aku mati dengan kondisi terburuk badan yang tercerai berai sekalipun aku tidak peduli. Lagipula kami sudah dimasukan ke dalam penjara, kemungkinan seperti  apapun bisa saja terjadi. Yang pasti kompeni-kompeni itu harus segera diusir dan harus segera dikalahkan.
                                                                       ***
     Pada tengah malam kepala kami satu persatu dibungkus dengan karung goni hingga ke pusar lalu diikat erat dengan tali tampar. Ada suara pekikan marah, tubuh kami yang linglung dipukuli berulang kali dengan tongkat yang terbuat dari rotan. Ada yang mengaduh kesakitan, ada yang menangis tapi tidak ada yang berani marah lalu balik menyerang. Kami semua para tahanan sudah benar-benar menciut. Aku mendengar sentakan dari salah satu Murabbi yang akan mengeluarkan kalimat Takbir untuk memberi kekuatan kepada kami tapi dihentikan oleh pasukan NICA dengan memukulkan tongkat rotan itu sekeras-kerasnya ke bagian atas tubuh Murabbi itu, sepertinya bagian kepala atau mungkin leher, hingga ia jatuh dan tak bergerak lagi. Ketakutan kini menjadi molekul utama yang merayapi hati dan pikiran kami.
       “Di mana keberanianmu Met??!!!! di mana semangat Jihadmu untuk orang-orang Blandong!!! Semua cuman omong kosong met... Janjimu Taek Njaran15!!!” Umpatku pada diriku sendiri. Aku hanya terdiam memaku seperti orang tolol. Bertahun-tahun belajar di Pesantren tapi tidak ada hasil. Setiap waktu meneriakkan Jihad tapi kini hanya menjadi santri kacangan yang benar-benar kacang. Batinku terus mengumpat bergejolak menyumpahi diriku sendiri. Aku tak tahu mengapa begitu bodoh hingga beku seperti ini. Di hati seperti ada bisul yang begitu perih tapi tidak bisa aku keluarkan.
    Aku sudah tak bisa menahan diri lagi, sungguh-sungguh tak bisa. Aku sudah merasa dihinia. Dengan semua sisa nyali yang aku miliki, aku teriakkan kalimat Jihad,, aku teriakkan nama Allah. “Allah hu Akbar!!! Allah hu Akbar” berulang-ulang kali. Tiba-tiba aku merasakan aliran udara panas mengalir menembus lengan, lalu mengalir ke seluruh tubuh hingga terasa membara. Aku merasakan ada kekuatan yang begitu besar merasuki tubuhku. Aku menggeliat, meronta, berusaha melepaskan goni serta tamparnya yang membelengguku.
     Pasukan NICA mendatangiku dengan beringas, mereka menyuruhku diam dan aku terus meronta. Mereka memukuliku membabi buta. Badanku tak lagi tegak, kepalaku sejajar dengan pinggul dua laki-lakiyang memukuliku. Aku tak mau diam saja, aku melawan, menendang, semakin meronta dan terus mengumpat. Kiai, Murabbi dan semua santri yang awalanya hanya diam saja kemudian ikut terpancing. Gewestelijke centralen menjadi arena baku hantam, benar-benar ricuh tak terkendali. Kami para santri yang sudah menahun belajar di Pesantren dan inilah saat yang terbaik yang bisa kami berikan untuk Negeri kami. Meski nyawa kami sendirilah yang harus kami tumbalkan, sudah waktunya cahaya berpendar menggiring orang-orang Blandong pada kebebasan.
          Suara bedil berkali-kali dilepaskan ke udara, bunyinya seperti petir yang ingin menakut-nakuti kami. Tapi bukannya suasana jadi tenang malah semakin ribut dan ricuh. Aku mendengar suara bedil selanjutnya tapi kemudian ada sesuatu yang seperti menusuk dadaku. Rasanya linu kemudian darah dari sekujur tubuhku seperti mengalir di tempat itu, sakitnya sungguh menyiksa. Nafasku kemudian sesak. Benar-benar tidak ada oksigen yang masuk dalam paru-paruku. Dadaku sudah menghitam dengan darah, terus mengalir tanpa aku bisa menghentikannya. Darah terasa tertinggal di dada, tak mau terpompa ke kepalaku. Sehingga semua yang ada di sekelilingku mulai tertutup bintik-bintik gelap, seperti pembuluh saraf mata yang sudah tak lagi berfungsi karena tak terisi cairan darah. Tubuhku terhempas begitu saja dan limbung jatuh.
        Sayup-sayup aku mendengar orang-orang yang histeris membaca kalimat Istighfar dan memanggil-manggil namaku.
   “Innalillahi Met!! Slamet!!! Ya Allahh Gustiii...!!
        Namun mulutku sudah terkunci, badanku kian mengigil dan sudah tidak bisa digerakkan lagi. Di sudut paling sempit dalam penjara aku melihat seperti ada cahaya yang berpendar. Di sana ada Bapakku, ia tersenyum bangga kepada-ku, senyumannya menyiratkan rasa bangga tiada tara. Ini adalah waktuku untuk pulang. Di sana akan selalu ada cahaya yang berpendar17 menemani para santri untuk meneruskan perjuanganku.  
                                                                    ***
Catatan :
1.      Indische compagnie : Perkumpulan perusahaan dagang Hindia milik Belanda.
2.      Heerendiensten : Sistem kerja paksa yang diterapkan oleh Belanda.
3.      Juru Waca : Mandor yang bertugas menjaga proyek kerja paksa (buruh-buruh kayu Jati), Dalam masyarakat feodal Juru Wana memiliki strata yang sama dengan perangkat desa.
4.      Blandong : masyarakat yang tinggal di tengah hutan Jati Rembang yang bekerja sebagai buruh penambang hutan Jati di era penjajahan Belanda.
5.      Volksstam :bahasa Belanda yang memiliki arti masyarakat yang cenderung primitif dan berpola hidup Nomaden (tidak menetap).
6.      Karangmangu : Sebuah daerah yang ada di Rembang
7.      Halaqah: merupakan majelis taklim, atau forum yang bersifat ilmiyah. Sebelum adanya pesantren di Indonesia terlebih dahulu munculah halaqah-halaqah (Sejarah peradaban Islam Indonesia : Dr Badri Yatim)
8.      Asu: Anjing
9.      Murabbi: Guru di Halaqah
10.  Aru: Suatu wilayah yang ada di Sumatra Utara.
11.  NICA: Nederlandsch Indie Civil Administrartie (Pasukan pengawas pada era Belanda)
12.  Pamong Praja: Pengurus suatu daerah. Pada era Belanda Pamong Praja juga bertugas mengawasi tahanan Belanda.
13.  Qadhi: Petugas penjara/sipir.
14.  Wah-wah anaku ganteng tenan to iki...  Slamet saiki wis dadi santri, wis pinter moco Qur’an: Wah-wah anaku tampan sekali... Parno sekarang ini sudah jadi santri, sudah pintar baca Al-Quran.
15.  Taek Njaran : kalau diartikan kotoran kuda tapi juga bisa memiliki arti omong kosong.

16.  Cahaya yang berpendar : pada KBBI (Kamus Besar Bhasa Indonesia) memiliki definisi sebagai sebuah cahaya yang tidak terlalu terang tetapi bisa menerangi dalam keadaan yang gelap gulita, cahaya berpendar sebenarnya merupakan sebuah awal dari cahaya yang terang. Sehingga sangat relevan untuk menggambarkan tentang perjuangan para santri pada era Kolonialisme yang ikut melawan penjajah.  
0 Comments for "Sepenggal kisah dari Rembang - Wendhy Rachmadhany - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top