Jangan kuliah
Wisnu
Prasetyo
Hujan deras
mengguyur daerah Ibukota Negara. Suatu rezeki yang dinantikan para petani.
Tetapi tidak untuk Eki dan masyarakat sekitarnya. Selalu saja banjir
menghampiri jika hujan lebat sedikit saja. Sore itu, langit sangat gelap dan
hati Eki lebih gelap. Rasa yang berkecamuk saling menghunus pedang di hatinya.
Seolah hujan pun tak bisa mengganggunya. Laksana air dan minyak yang tidak mau
bercampur. Kata-kata pak Taro kembali terngiang di Kepalanya. Harus ada yang
kalah.
****
“Ibu, Bapak Eki
pamit dulu. Eki berjanji akan bersungguh-sungguh belajar. Eki akan mencari sampingan
untuk biaya sehari-hari. Eki berjanji akan menjadi orang sukses.” Sejenak Eki
melupakan perselisihannya. Berat hati kedua orangtua melepas satu-satu anaknya.
Tapi apa daya, adakah orang tua yang tidak mau anaknya berilmu dan sukses?
Keluaraga itu
melepas anaknya di sebuah stasiun. Dengan dibekali harapan dan doa, Eki
berangkat ke Jakarta. Berbagai tahap tes telah ia lalui. Sekarang ia adalah
mahasiswa di slahg satu universitas negeri di Jakarta. Tidak mudah untuk masuk
ke Perguruan Tinggi Negeri. Tetapi tanggung jawab mahasiswa lebih tidak mudah
lagi. Sebulan berlalu, Eki telah biosa melalui hari-hari beratnya, hari-hari
pertamanya meninggalkan keluarga. Tugas, makalah, karya ilmiah telah
menyibukkannya. Bahkan Eki ikut berpatisispasi dalam yayasan yatim piatu. Ia
mendapat bagian games pada setiap sorenya.
“Ki, lu mau
tambahan duit nggak?” tanya Deva, teman kostnya.
“Ada kerjaan
Dev?”
“Iya, kebetulan cafe
bos gue butuh orang ni. Kerjanya cuman nglayani pengunjung. Setiap hari kamis
sampe minggu doang Ki”
“Yaudah gue mau
Dev, lumayan buat tambah-tambah”
“Siip, ntar gue
bilangin ke ownernya Ki”
“Thanks ya Dev
“Samsam deh Ki”
Belum lama
bekerja, Eki telah akrab denagan rekan kerjanya. Ia menikmatinya walau
salarynya tidak terlalu besar. Ia tetap bisa membagi waktunya. Belajar dan
bekerja. Itulah Eki. Tidak ada sesuatu yang tetap. Ia bertemu dengan Kato,
peangunjung yang sering ke cafe. Kato melihat Eki berkerja dengan gigih dan tampak
lugu.
“Bang, sini!”
Kato memulai percakapan dengan Eki
“Abang mau pesen
lagi?”
“Nggak, gue mau
nawarin lu gabung ke komunitas gue”
“Komunitas?”
“Iya komunitas.
Tepatnya bisnis. Lumayan gajinya gede. Lu kapan liburnya?”
“Lusa gue libur
bang”
“Nih alamatnya.
Lu datang aja dulukalau mau penghasilan lebih gede. Oh ioya, gue Kato”
“Gue Eki bang.
By the way komunitas apa ya bang?”
“Lu datang aja
dulu, intinya usaha Ki”
“Iya bang, saya
dulu pingin banget jadi pengusaha tapi orang tua malah nyuruh kuliah ambil
pendidikan”
“Wah pas itu Ki”
****
“Eki, nanti ikut
saya ke Pasar ya! Jual sayuran dari Ibumu”
“Ke pasar mas?
Maaf mas, Eki ada tugas sekolah” Ia sering menolak ajakan sepupunya itu.
Sebenarnya karena Eki malu jika teman-temannya melihat lalu mengejeknya. Eki
dikenal teman-temannya sosok humoris tapi tidak bisa apa-apa. Tidak terlalu
lucu juga sih. Ia sering diejek tentang cita-citanya jadi pengusaha. “Haha
pengusaha perusaan lucu-lucuan ki? Ngimpi kamu”. Kalimat itu sangat membekas di
hati Eki. Ia bertekad membuktikan kepada teman-temannya. Tepatnya bukan
membuktikan tetapi balas dendam.
“Tidak” kata ibu
Eki
“Kamu nanti
ambil jurusan pendidikan aja nak. Ibu tahu kamu pingin jadi pengusaha tapi bagi
ibu pendidikan akan lebih berarti nak”
“Tapi bu?”
“Percaya ibu
deh!”. Wajah itu telah memerah. Itu pertanda Ibunya benar-benar
menginginkannya. Eki kenal sekali ekspresi itu. “ Baik bu, Eki akan ambil prodi
pendidikan”. Wktu berjalan cepat, tak terasa ia sudah di depan lembaran masa
depan. Hari itu ia mengikuti tes masuk PTN. Ia sangat berharap bisa lolos. Ya,
walaupun di prodi pendidikan.
****
“Wah udah datang
ni teman baru”
“Iya bang, gue
pikir udah telat”
“Di sini
komunitasnya nyantai Ki. Oh iya ini baca dulu. Lu bisa upgrade level tiap
minggunya tapi kerjanya juga harus ekstra. Semakin banyak distribusi, semakin
banyak bonusnya”
“Gitu ya bang,
siap pokoknya”
“Yaudah, bantu
itu temen ngnagkatin kardus”
Waktu tidak mau
berhenti, selau berganti. Awalnya Eki tidak tahu bahwa bisnis Kato adalah
distributor miras. Pernah sekali pesta minum, Eki disodori minuman dalam gelas
gelap dan ia meminumnya. Bukannya menjauhi, ia malah mendekat dan tak pernah
absen meminumya. Julukan master patut untuk Eki. Hari-harunya kini menjadi
bebas. Yayasan dan cafe telah ia lupakan. Kuliah pun ia tinggalkan. Bahkan ia
jrang pulang setelah bekerja. Selokan, tempat sampah, pinggir jalan adalah
rumah keduanya. Dimanapun ia berhenti, itulah rumah keduanya. Pengaruh miras
terlalu berat dirasakannya tetapi ia justru merasa senang dan bebas. Setiap
Ibunya menelpon, Eki selalau menunjukkan kepiawaiannya. Bersilat. Lidah. Sering
sekali. Sangat mudah menguasai ilmu silat ini.
“Ki, bangun Ki!
Udah jam 8 ni”
“Iih ngapain sih
Dev? Udah lu berangkat dulu aja”
“Ayo atuh! Lu
udah bolos 2 minggu. Buruan mandi Ki”
“2 minggu?”
Kata itu seperti
menampar kantuk Eki. Wajah orang tuanya tiba-tiba melintas. Ia ingat
orang-orang yang menginginkannya sukses, keluarganya.
“Yaudah Dev, gue
mandi dulu”
Langit mendung
hitam. Seperti menunjukkan kebencian pada perbuatan Eki. Angin segarnya berubah
menjadi seram. Eki terjaring razia oleh Resimen Mahasiswa. Ia lupa ditasnya
masih ada sisa miras tadi malam dan pil “koplo”nya. Keputusan telah dibuat.
Kayu telah menjadi arang. Eki di Droup Out karena kasus kriminalitas. Ditambah
lagi, ia bolos kuliah berturut-turut. Kata pendidikan seperti tak terbesit
lagi. Ia diam seribu bahasa. Laku tak bernyawa. Surat digenggam tangan, hati
digenggam angan. Orang tua, cita-cita, impiannya tak lagi bisa ia bayangkan.
“Ki, mungkin ini
bukannya rezekimu. Lagian lu dibilangin nggak usah mabuk-mabukan”
Eki tetap diam.
“Percaya deh Ki, selalu ada rahmat Allah di depan bagi yang mencarinya. lu mau
kemana habis ini Ki?”
“Gue mau
nenangin diri Dev. Oh iya makasih ya Dev, lu udah ngingetin gue selama ini”
“Mabuk lagi lu?”
“Gue hanya
tenang dengan itu Dev”
“iya, tenang
sebentar lu Ki. Mending lu pergi ke taman rekreasi atau ke masjid kalu mau”
“Iya Dev”
Sungguh rasa
sesal itu hilang sekejap. Hanya dengan beberapa tegukan saja di tempat
tongkrongan biasanya. Sebotol belum habis diteguknya, ia melihat pak Taro,
salah satu dosen yang cukup ia kenal.
“Mabuk juga
pak?”
“Saya sering
lewat sini Ki. Kebetulan tadi melihat kamu, saya mampir”
“Terus?” Eki
menyahut.
“Saya udah
dengar semua dari Deva. Sebenarnya kamu itu baik Ki. Kamu aja yang bodoh,
kebawa lingkungan nggak bener”
“Maksud bapak?”
“Saya punya
keponakan, dia lebih parah lagi dari kamu Ki. Dia dulu sangat alim tapi nggak
tahu dia bisa terpengarus setelah ia merantau. Hingga suatu hari ia mati karena
sakau. Masalahnya bukan hanya di keponakan saja. Orang tuanya sangat sedih
bercampur malu, dan hancur oleh tanggapan tetangga-tetangganya”. Sejenak mereka
kembali melihat langit malam jauh disana. Dua insan lelaki yang harus tetap
bertahan untuk satu tujuan. Pandangannya jauh, layaknya pikirannya yang lebih
jau ke masa depan. Pak Taro kembali bercerita. “Ngomong-ngomong apa kamu
rencana usaha ki?”
“Belum ada sih
pak”
“Dari awal
seharusnya kamu jangan kuliah Ki. Jangan mau beranjak dewasa jika kamu belum siap
dengan perubahan, kamu kuliah tapi belum siap hanya dengan lingkungan “baru”.
Bagaimana kamu bisa hidup tanpa ada skill untuk usaha?”
“Ya, ngaak punya
skill belum tentu nggak bisa hidu kan pak. Bisa saja jalan lain untukku”
“Nah, saya nggak
mau kamu berakhir seperti keponakanku. Prodi yang dipilih Ibumu sangatlah
berarti. Jika kamu nggak bisa kejar cita-citamu biarlah orang lain yang
mengejarnya. Dengan bantuanmu”
“Gimana caranya
pak?”
“Guru. Kamu bisa
aja menanamkan banyak mindset positif kepada murid-muridmu nanti. Kamu bisa
pacu potensi-potensi untuk masa depan. Kebanyakan orang memilih untuk
mensukseskan diri pribadi. Kamu memang tidak bisa jadi pengusaha, tetapi kamu
bisa menjadi orang yang berjiwa besar ki. Belum terlambat Ki, belum terlambat”.
Tak sepatah kata keluar dari mulut Eki. Rasa mabuk itu seperti hilang bagai
garam yang tersiram air tawar.
Cahaya terang
masuk ke hati Eki. Semula gelap perlahan memudar dan menjadi cerah. Sangat
perlahan. Perubahan memanglah tidak mudah. Tidak seperti dalam film, kehidupan
ini hanya meloloskan orang yang benar-benar berjuang. Tidak perduli apapun masa
lalunya. Eki harus berfikir. Eki mulai meninggalkan teman komunitasnya. Banyak
cercaan yang pedas untuk Eki, tapi Ia berusaha tegar. Sesekali ia mabuk dan selalu
menyesal pada akhirnya. Hingga ia memutuskan untuk membeli borgol. Jika mabuk
terbesit lagi, ia akan memborgol tangannya untuk satu malam. Dan kata inilah
yang menjadi penghalangnya “Kayu memang telah menjadi arang. Tapi bukankah
arang masih bisa dimanafaatkan?”
****
Tibalah
hari dimana Eki kembali diuji. Eki tetap memilih prodi pendidikan setelah di
droup out 6 bulan yang lalu. Walaupun Eki mendaftar di Perguruan tinggi swasta,
tetapi semangatnya kali ini lebih tinggi. “LOLOS” itulah kata yang terlihat. Langit
seolah terbuka untuk menyaksikan pengumuman itu. Angin, burung berhenti untuk
turut memberi ucapan selamat. Airmata kristalnya mengguyur pipi. Selalu
melegakan. Kembali diberi kesempatan kuliah. Sujud syukur menyertai kebahagiaan
itu. “Jangan kuliah, jangan mau beranjak
dewasa..” kalimat itu kembali terngiang. Pak Taro. Ya, ialah penyemangatnya.
“Ini awal hidupku yang baru pak Taro. Aku benar-benar menanti tantangan yang
bapak bicarakan. Aku yakin tantangan itu sangat banyak dan tidak mudah. Putus asa,
itulah yang dikatakan “para penantang” nanti karena telah menerjangku”
“Selamat
ya ki, saya turut bahagia. Ok saya tunggu di garis depan kesuksesan. Jangan
sampai tertinggal. Mereka seakan-akan berbicara kesuksesan padahal kegagalan
itu lebih besar peluangnya. Kayu telah menjadi arang. Arang inilah yang akan
membakar peluang kegagalan.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
1 Comments for "Jangan Kuliah - Wisnu Prasetyo - Lomba Menulis Cerpen"
nice short story. good job mas wis (y)