Mantra Sang Kyai....
Lia Uvitasari
Cahaya matahari gencar- gencarnya menghajar badan. Peluh menetes
mengalir membasahi dibaju putihku. Hampir tiga bulan aku hilir mudik mengais
rejeki namun tak kunjung aku dapatkan. Aku memilih posisi duduk paling pojok meninggalkan
mereka setelah beberapa jam yang lalu mengobrol serius bersama beberapa teman
lamaku. Rasa pusing bercampur penat tak kunjung menghilang dari tubuh, malah
semakin membaur mencoba berjalan menyusuri aliran darahku. Ku tatap lekat
sebuah gelas tepat didepanku, tercetak jelas bayanganku dipantulan gelas. Masih
tersisa setengah es tawar yang belum habis aku minum. Tampak gelas itu masih
berembun, seperti ada yang menarik dan ingin segera aku lihat lebih dekat,
nampak juga pantulan teman-teman digelasku. Aku beranjak mundur tatkala aku
lihat gelasku retak kecil-kecil dibagian pinggirnya.
Pikiranku kembali tertuju akan perbincangan teman-temanku.
“Bagaimana kalau besok kita janjian dengan seorang teman dekatku, dia sering
masukin orang kesitu”, kata Isti. Kami semua saling berpandangan satu sama
lain, lima orang perempuan duduk berhadapan seolah perbincangan yang sangat
serius. “ Mudah saja, kalian hanya tinggal bawa persyarakatan dan amplop,
bagaimana mudah bukan!”, kembali Isti memberikan kami penawaran. “Berapa uang
yang harus kami bayar untuk bisa masuk dan menempati posisi yang kami inginkan!”,
sambung Kyla. Ahh..itu mudah, nanti aku kabari kalian lagi setelah aku
menghubungi temanku itu dan kita bisa janjian disuatu tempat!bagaimana?, tanya
Isti kembali.
Empat perempuan disekitarku tampak menganggukkan kepala tanda
menyetujui dan saling berkata iya. “Bagaimana dengan dirimu Rain?”, pertanyaan
Isti menohokku. Semua pasang mata tertuju padaku seolah aku adalah terdakwa.
Namun aku tak kunjung memberikan mereka jawaban baik iya maupun tidak. Badanku
tak bergerak dari tempat, kedua bola mataku bergerak kekanan dan kekiri, aku
tak tahu harus memberikan jawaban apa kepada mereka. Lama tak ada percakapan
kemudian aku menarik nafas dalam – dalam, mereka nampak berharap lebih atas
jawabanku.
“Akan aku pikirkan, kemungkinan malam nanti aku akan kasih jawaban
lewat pesan”, terlukis dimuka mereka sebuah kekecewaan atas negosiasiku. Hawa
kelegaan menyelimuti hati dan fikiranku sejenak, setidaknya aku bisa memberikan
alasan yang tepat untuk jawaban iya maupun tidak nanti malam.
Aku beranjak dari dudukku dan permisi untuk pindah duduk dan beralasan
sedang pusing dan ingin sendiri, mereka hanya mengatakan iya dan membiarkanku
berlalu. Aku masih bergelut dengan segala pemikiran tentang tawaran Isti,
bagaimana mungkin keempat temanku menganggukkan kepala dan mengatakan iya
dengan sebuah penawaran gila hanya karena posisi dan jabatan. Pantulan
keceriaan mereka masih terlihat digelasku, bagaimana mereka bisa tertawa
selepas itu ketika posisi kerja orang lain mereka geser hanya karena uang.
Akupun terlalu munafik untuk mengatakan TIDAK secara tegas didepan mereka, ego
dan nalusi juga logikaku berperang hebat didalam otakku.
Nampak sebuah bayangan berkelebat dan duduk tepat disamping
kananku, aku terlonjak dan secara spontan menggeser posisi dudukku. Seseorang
itu tersenyum memperlihatkan wajahnya yang nampak keriput, tercetak jelas kerut
didahinya karena sebuah perjuangan panjang yang tak mudah. Senyumnya masih
tetap sama seperti lima belas tahun yang lalu, memberikan ketenangan. Aku masih
tidak percaya akan sosok yang sejajar duduk dibangku bersamaku, aku mencoba
mengerjap-ngerjapkan mataku dan aku alihkan tatapan tertuju pada gelasku.
Masih retak di bagian pinggirnya, aku mencoba bertarung dengan semua
pikiranku, ku ambil gelas yang yang masih berisi es tawar separo, namun sesuatu
membuatku kaget! Gelasku retak sampai bawah, ketika aku akan mengangkatnya
seketika gelas itu pecah. Tapi yang membuatku semakin heran pecahnya hanya
sebagian, yang sebagian masih utuh. Tatapanku kembali tertuju pada sosok
disampingku, ia mengulurkan tangannya dan tersenyum kepadaku. Badanku seperti
terhipnotis dan aku dengan suka rela menerima uluran tangannya. Aku terdiam,
aku sangat merindukan sosok ini, seseorang yang sangat penyayang, pekerja keras
dan bertanggung jawab. Aku sudah merindukanya teramat sangat lama, seperti
merekahnya pelangi yang hadir setelah hujan.
Aku kembali kepada ingatan lima belas tahun silam, disaat setiap
sore anak-anak kampung membawa obor untuk penerang malam dan duduk melingkar
setelah maghrib untuk mengaji bersama. Hanya sosoknya yang tak pernah gentar
untuk mengajari kami bagaimana membedakan antara bacaan izhar
(membaca huruf nun mati dan tanwin dengan jelas dan terang),dan idgham
(meleburkan/memasukkan nun mati dan tanwin tanpa disertai dengan dengung).
Temaram cahaya lampu minyak menjadi saksi betapa ilmu itu sangat
mahal untuk kami khususnya anak-anak kampung yang haus akan ilmu agama. Kyai Jamal,
kebanyakan kami memanggil dengan sebutan ustad atau kyai, itulah sosok yang tak
asing ditelinga kami, setiap sore anak-anak berduyung-duyung mengaji di langgar
(mushola) kampung kami.
Tak hanya ustad Jamal yang mengajari kami ilmu agama namun masih
ada beberapa guru ngaji yang lain. Tapi beliau berbeda,beliau seorang yang
penyabar, penyayang dan humoris tentunya. Disaat sebagian anak-anak mendapat
hukuman karena tidak hafal bacaan sholat dengan dipukul menggunakan sapu lidi,
tapi berbeda dengan ustad yang satu ini.
“ Bagaimana,apakah besok masih mau diulangi lagi, untuk tidak
menghafal alqur’an”!,tanya ustad Jamal dengan tanpa senyum. Seketika itu Aldo
menggelengkan kepala dan mantap mengatakan “Tidak ustad, besok saya akan lebih
berusaha untuk mengingat”. Ustad Jamal pergi dengan tersenyum, dibalik tembok
beliau berkata kepada salah satu ustad yang lain, “Ajarkanlah mereka ilmu
dengan kasih sayang, seandainya mereka belum mampu! sampaikanlah lebih dalam,
dan seandainya mereka masih tidak mengerti! berikanlah ilmu itu dengan hati
yang jujur dan tulus”, ucap ustad Jamal. Ternyata anak- anak kampung melihat apa
yang dilakukan ustad Jamal, beliau hanya tersenyum dan berlalu diiringi
anggukan mengerti dari guru ngaji yang lain.
Aku menatap jauh kepergian ustad Jamal yang melangkah dengan
tertatih-tatih menua dimakan usia. Banyak pesan yang sering beliau sampaikan
kepada kami anak-anak kampung miskin, bahwa kejujuran itu mahal harganya. Sore
ini senja merah merona menemani aku yang tengah bersender dideretan buku-buku
usang di rak mushola. Langkah kaki mengagetkanku dari belakang, ustad Jamal
memberikan isyarat agar aku segera mengambil air wudhu karena sebentar lagi
azan akan segera dikumandangkan. Dari seluruh penjuru kampung, suara merdu azan
terdengar, seluruh mahluk Tuhan bersujud bertasbih memuji AsmaNya.
“ Apa cita-cita kalian suatu kelak nanti”?, pertanyaan ustad Jamal
menyadarkan kami semua. Aldo yang sedari tadi sibuk berbicara dengan teman
samping kirinya langsung terdiam, Yudha anak paling kecil mungkin usianya
sekitar empat tahun hanya melongo mendengarkan suara sang ustad. Aku dengan
ragu-ragu mengangkat salah satu telunjukku, “ aku ingin menjadi pedagang yang
kaya raya ustad”.
Ustad Jamal memandang heran kearahku, tak kalah heran teman-temanku
yang lain juga melihat tak percaya anak perempuan berjilbab berkulit coklat
berani mengangkat tanganya. “Kenapa kau ingin menjadi pedagang kaya raya,
kenapa kau tidak ingin menjadi dokter atau guru”, tanya ustad Jamal. Seluruh
pasang mata menatapku, aku hanya mampu menggaruk-garuk kepala sambil nyengir
memamerkan deretan gigiku yang gupis. “
Karena ibuku seorang penjual
kue ustad, aku ingin suatu saat nanti mempunyai toko kue yang sangat
besar dan mempunyai uang yang sangat banyak”, jawabku dengan mata yang
berbinar-binar dan perasaan yang deg-degan. Tak berselang lama suara gemuruh
tawa terdengar, anak-anak kampung menertawakanku yang mungkin dimata mereka aku
mencoba melucu.
“Kalian pernah mendengar kisah Rosulullah yang sangat jujur dalam
berdagang”?, tanya ustad Jamal. Kami semua hanya menggeleng. Ustad Jamal mulai bercerita,
dulu nabi Muhammad berdagang sejak usia dua belas tahun, beliau berdagang
bersama pamannya yang bernama Abdul Muthalib yang bertanggung jawab terhadap
nabi Muhammad sejak usia delapan tahun. Tidak seperti pedagang pada umumnya,
dalam berdagang beliau dikenal sebagai seorang yang sangat jujur, tidak pernah
menipu baik pembeli maupun majikanya. Beliau tidak pernah mengurangi timbangan
ataupun takaran, nabi juga tidak pernah memberikan janji-janji yang berlebihan,
apalagi bersumpah palsu. Semua transaksi dilakukan atas dasar sukarela,
diiringi dengan ijab dan kobul.
Semua mata dan pasang telinga sibuk dengan cerita ustad Jamal.
Kalian semua harus tahu, apapun cita-cita kalian kelak! Satu yang harus kalian
ingat kalian harus menjadi orang yang taat kepada Allah, sabar dan jujur. Suara
lantang sang ustad seperti mantra kehidupan yang terpatri terlalu dalam di
setiap hati anak-anak kampung ini. Entah seluruhnya mengerti atau hanya
sebagaian yang paham namun mereka anak kampung mengangguk dengan serempak. Sekali
lagi wahai anak-anakku, kemanapun kalian berpijak kalian harus jujur, kepada
siapapun dengan alasan apapun. Walaupun itu pahit, Ingat! kesuksesan hanya bagi
orang-orang yang berlaku jujur, walaupun terkadang pahit. Ahiri ceramah beliau,
aku menerawang jauh merasakan sorot mata yang beliau sampaikan kepada kami
semua. Malam semakin larut membawa langkahku mendekati sang ustad yang mencoba
menuruni tangga dengan terseok-seok.
Di pelataran masjid aku sejajar duduk bersamanya, tak banyak kata
ataupun petuah yang terucap kala angin menggoda semakin dingin. Beliau
menatapku seolah menitipkan pesan, tapi sampai beberapa waktu tak jua aku
mendengar ucapnya. Tanganya terulur kepadaku, nampak keriput memenuhi seluruh
tubuhnya, dan aku sambut uluran tanganya, kita bersalamanya cukup lama. Gelap,
hanya gelap yang aku rasakan, kemudian kesadaranku kembali. Aku
mengerjap-ngerjap dan aku mencoba memastikan sekelilingku, aku duduk seorang
diri, hilanglah sosok ustad Jamal.
Kepalaku masih sedikit pusing seperti bernostalgia kembali kepada
lima belas tahun silam. Terpancar semburat senyum di wajahku, aku lihat
gelasku, nampak teman-temanku beranjak berkemas akan segera pergi, mereka
melambaikan tangan dan berlalu.
Aku menatap dari kejauhan gelas-gelas mereka kosong dan nanpak
retak kecil-kecil di bagian pinggir, mereka pasti langsung pulang dan
mempersiapkan syarat-syarat untuk pertemuan besok. Aku masih bisa melihat
mereka dari jauh kala punggung-punggung mereka perlahan hilang. Aku semakin
dibuat terkejut kala aku menatap gelasku kembali utuh tanpa retak dan pecah
dibagian samping. Gelasku masih sama seperti awal terisi separo. Aku mantap
mengeluarkan benda kecil dari dalam tasku, aku mencoba mengetik kata TIDAK dan
sebuah tanda aku sentuh untuk info pengiriman pesan. Aku tarik dalam-dalam
nafasku dan mulai kuatur iramanya.
“Maaf mbak saya akan bersihkan pecahan gelas diatas meja itu”, kata
seorang pelayan. Aku menatap gelasku sambil kusungging sebuah senyuman. “Tidak
perlu mas, gelasnya tidak retak, tapi masih tersisa minumanya setengah,
setengahnya lagi akan saya coba isi setelah langkah ini pergi”, jawabku sambil
tersenyum berlalu dari sang pelayan. Awan putih bergerombol dilangit mencoba
mengajak berlari bersama hembusan angin, menapaki TitahNya.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Mantra Sang Kyai - Lia Uvitasari - Lomba Menulis Cerpen"