SKIZOFRENIA
Nuryaman
“Halo, Gofar.
Masih ingat dengan tante Meli? Bagaimana dengan sekolahmu tadi pagi? dan juga
permainan pianomu? Tante turut berduka cita atas kepergian ibumu tiga minggu
yang lalu. Sejak ia menikah, kami jarang bertemu ataupun berkomunikasi. Tante
selalu berpikir ibumu akan baik-baik saja. Tapi Tuhan lebih sayang, sehingga
lebih dulu ingin bertemu. Maaf juga tidak bisa datang menjelang hari-hari
terakhirnya. Jangan lupa jaga kesehatanmu ya”. Bagai
disambar petir siang bolong, seluruh tubuh lemas, air mata mengalir dan sesaat
sesak seperti tidak ada udara. Isi pesan itu menjawab kekhawatiran Gofar selama
ini. Hilangnya komunikasi, telepon yang tidak tersambung, pesan singkat yang
tak kunjung dibalas. Tanpa pikir panjang lagi Gofar langsung berlari keluar bis
dengan bercucuran air mata.
Sampai hari dimana Guru
Will menjawab pertanyaan minggu lalu, Gofar tidak masuk kelas. Hanya terbaring
lemas berselimutkan sepi di kamarnya. Di tengah lamunan Gofar, bunyi telepon
silih berdering namun tidak dihiraukannya. Tidak tahan dengan bunyi telepon. Gofar
bermaksud untuk mematikannya, namun sederetan pesan muncul dari Yulia. Isi
pesan itu, permintaan agar buku Antariksa dikembalikan. Kemudian diambilah buku
itu “masih belum tamat rupanya!”. Ucap Gofar. Hingga pandangannya tertuju pada
Bab tentang Mimpi Adalah Dunia Ke-Tiga. Dibacalah Bab tersebut baris demi baris sampai paragraf terakhir
Gofar tidak mengurangi kerutan dahinya karena heran dengan isinya. Tidak puas
dengan pemahamannya, Bab itu kembali dibacanya, terutama paragraf tentang
Mewujudkan Dunia Ke-Tiga. Wajahnya tampak serius memahami setiap paragraf.
“Halo.. Gofar! Ini
Yulia ada orang di rumah?”. Sahut Yulia yang berada di depan pintu rumah. “iya,
sebentar”. Jawab Gofar dari kamarnya. Dibukalah pintu rumah dan mempersilahkan
Yulia ke ruang tamu. “kau tidak bermaksud memilikinya bukan?”. Sindir Yulia.
“tentu saja, hanya ada bagian yang belum terbaca. Bagian yang sangat penting”.
Ujar Gofar serasa menunjukan Bab yang dibacanya. “kenapa dengan Bab ini?
Sudahlah”. Ucap Yulia sambil menutup bukunya. “oh iya. Aku turut berduka cita
atas kepulangan ibumu. Ini hari pertamamu melewatkan mata pelajaran Antariksa,
jadi aku menuliskan jawaban Guru Will”. Sambung Yulia. “oooh iya, iya“. Angguk
Gofar sambil mengambil kertas jawaban. TOK TOK TOK. Suara pintu diketuk dengan
keras. “iya sebentar”. singkat Gofar. Sesaat pintu terbuka tidak tampak seorang
pun, bahkan di sekitar halaman. “jika halusinasi harusnya Yulia tidak mendenga”.
Gumam Gofar. “siapa Gof?!”. Sahut Yulia dari ruang tamu. “tidak ada
siapa-siapa, Yul”. Jawab Gofar. Beberapa langkah menjauh, pintu kembali
diketuk. “Oi jangan usil dong!!”. Gerutu Gofar sambil membuka kembali pintu. “sebenarnya
hanya mengantarkan manggis yang tertingal di bis minggu lalu”. Ucap tamu itu
sambil menyodorkan keranjang buah. “Ri.. Ri Riafal?! Rifalkan?“. Sontak Gofar
sambil memeluk tamu yang ternyata adalah sahabat lamanya. Tanpa panjang lebar
Rifal langsung masuk dan duduk bersama di ruang tamu. “wow! selera bukumu. Kamu
harus mengunjungi rak di kamarku”. Ajak Rifal. “tunggu apalagi, berangkat
sekarang saja. Oh iya, Yulia bukumu secara resmi aku kembalikan. Dan aku pamit
pergi”. Ucap Gofar dengan girang. “hah? Maksudmu?!” Heran Yulia melihat mood Gofar yang tiba-tiba berubah.
Tak lama Gofar sampai
di rumah Rifal. Memang kamar yang sangat luas untuk menyimpan ribuan koleksi
buku. Semua berbau tentang Antariksa, Pararel Universe dan perjalanan antar
galaksi. Surga baru untuk Gofar. “bagaimana dengan kabar orang tuamu?”. Tanya
Gofar sambil menelusuri rak buku. “ya seperti itulah, mereka sudah tenang
bersama Tuhan”. Jawab Rifal. “orang yang tegar, tidak sepertiku”. Sambung
Gofar. “tentus saja. Karena, aku percaya pada keajaiban mimpi”. Jawab Rifal.
“hah? Apa maksudmu?”. Heran Gofar. “buku yang kamu sentuh itu akan menjawabnya!”.
Ujar Rifal. Kemudian Gofar membacanya. Halaman demi halaman disapu habis oleh
Gofar hingga sampai pada halaman terakhir ia menutupkan jilidnya. “kemampuan
membacamu hebat juga”. Puji Rifal “tidak sia-sia aku mengunjungimu hari ini.
Persis seperti yang aku inginkan”. Papar Gofar. “iya tentu saja. Senang bisa
membantu orang senasib denganku!”. Jawab Rifal dengan tegas. “tapi, bagaimana
bisa mengendalikan mimpi di saat kita tidak sadar?. Keluh Gofar. ”karena itulah
aku disini”. Jawab Rifal tanpa mengurangi ketegasanya.
Malam ke malam, Gofar
mencoba untuk mengendalikan mimpinya. Agar bisa membangun dunia ke-tiganya. Di
malam pertama benar-benar gagal sama sekali. Itu tampak seperti mimpi biasa.
Malam berikutnya tidak jauh berbeda. Keringat dingin mengguyur tubuhnya tanpa
menghasilkan apa-apa. Hingga pada malam ketiga, Gofar mulai menyadari kalau
dirinya tengah berada dalam mimpi, disaat dunia barunya akan dibangun. nada
dering telepon melenyapkannya. Kini ia terbangun dalam keadaan lelah dan haus. “kamu
tidak akan pergi sekolah, Gof?”. Tanya Rifal. “astaga, pukul 07.00”. kaget
Gofar sambil mengenakan seragamnya dan melecut ke sekolah. Komisi disiplin
tengah menyambut Gofar di gerbang sekolah. Pak Dito mulai berbusa dengan pidato
yang berisikan peraturan dan pelanggaran sekolah. Cukup membosankan memang,
tapi ini resiko siswa karena terlambat 10 menit di jam pertama.
Tak ada yang membenak
di pikiran Gofar selain menginap di rumah Rifai dan berusaha membangun dunia
ke-tiganya. Saat pukul 22.00 malam, Rifai bersiap mengendalikan Sleep Paralyzed, yaitu kondisi raga dan
nyawa terpisah ketika tidur. Dan itulah yang dilakukan Gofar. Sampai pada malam
ke-tujuh semua tampak nyata, Gofar benar-benar mengendalikan mimpinya. Hal
pertama yang dia lakukan adalah meminta ibunya kembali dan itu terwujud.
Disusul dengan membuat sang ayah menjadi penyayang dan lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah bersama Gofar. Tak puas sampai disana, ia merubah
mata pelajaran di sekolahnya menjadi pelajaran antariksa dan tidak ada Raju mengganggunya.
Semua begitu nyata dialami Gofar. Menikmati kebiasaan barunya, Gofar lebih
banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Tak peduli lagi dengan tugas sekolah,
ujian dan pak Dito. Semua dilakukan dalam dunianya sendiri. Melihat kebiasaan
baru Gofar beberapa hari terakhir memancing curiga ayahnya. Tidak jarang Gofar
berangkat sekolah sendiri, lebih sering bermain bersama Rifal dan memenuhi
kamarnya dengan keranjang buang manggis, seolah ibunya datang membuatkan jus
manggis kesukaannya.
Pagi itu hujan cukup
lebat, Gofar keluar dari mobil sambil melebarkan payung. Sesaat punggung Gofar
luput dari pandangan ayahnya, tiba-tiba kaca mobil diketuk dari luar. “permisi,
ini Yulia. Ada hal penting yang harus dibicarakan Pak!”. Ajak Yulia. “oh boleh,
silahkan”. Jawab ayah. Percakapan panjang itu berakhir dengan pilu. Tampak rasa
sesal menyelimuti wajah ayah. “semuanya yang kamu katakan itu benar Yul. Bapak
tidak tahan lagi, lelah dengan Gofar!”. Papar ayah. “jadi? Selama ini bapak
sudah mengetahuinya? Lantas kenapa bapak diam saja. Psikiater dan ahli kejiwaan
bisa saja menyembuhkannya”. Papar Yulia “bapak takut hal serupa terjadi seperti
ibunya”. Jawab ayah dengan nada pilu. “oh, ya sudahlah. Yulia mungkin bisa
bantu semampunya. Sampai jumpa, Pak”. ucap Yulia mengakhiri percakapannya.
Di
tengah ramainya jam pulang sekolah Yulia tengah berdiri di koridor sekolah. Ia
tampak sedang mengumpulkan tenaga untuk melawan seseorang. Dan tibalah Gofar
menghampirinya. “ah, beruntung. Aku menunggumu dari tadi! Sekarang ikut ke
perpustakaan”. Tanpa basa-basi lagi Yulia menarik Gofar ke perpustakaan. “kamu
masih ingat dengan buku ini?”. Tegas Yulia. “tentu saja. Apa ada sesuatu?”.
Jawab Gofar. “coba baca semua judul Bab dari buku ini!”. Perintah Yulia, yang
kemudian Gofar membacanya. Tak lama setelah itu Yulia menyambung percakapan.
“kamu sadarkan sekarang! tidak ada bagian Mimpi Adalah Dunia Ke-Tiga, tidak ada!”.
Tegas Yulia sambil menunjuk halaman bukunya. “tidak mungkin! Ini hanya
akal-akalanmu karena ingin menghancurkan duniaku kan?”. Sontak Gofar. “apa kamu
tidak kasihan dengan ayahmu? Dia begitu mengkhawatirkan kebiasaan anehmu
bersama Rifai, membangun khayalan tentang dunia ketiga. Semua itu hanya
imajinasi, khayalan semata. Kamu terlalu berlebihan mengarang semuanya hingga seolah
nyata? Kalau kamu benar-benar menyayangi ibumu, cobalah tidak mengulangi hal
yang sama dilakukan Ibumu”. Papar Yulia. “bohong! Semua ini bohong. Rifai
adalah sahabatku sejak waktu kecil. Dan aku akan tetap bersama dengan duniaku”.
Elak Gofar. “Rifai? Rifai itu tidak pernah ada. Dia hanya tokoh khayalan yang
ibumu ceritakan waktu kamu masih kecil. Sejak Rifal hadir hari itu, aku
berpikir kalau itu hanya bercanda. Tapi,
kali ini kamu benar-benar sedang sakit, Gofar”. Sambung Yulia. Tak puas dengan
ucapan Yulia, Gofar langsung meninggalkan percakapan dan bermaksud untuk pergi
ke rumah Rifal. Beberapa menit kemudian,
sampai di rumah Rifai. Berulang kali mengetuk pintu tak kunjung seorang
pun membukakan pintu rumah. Akhirnya Gofar memutuskan untuk pulang pulang ke
rumahnya. Perkataan Yulia benar-benar mencambuk hati Gofar, kini kegelisahan
mulai meraba seluruh pikirannya. “tahu apa dia tentang ayah yang selalu
menelantarkanku!”. Gerutu Gofar sambil menaiki tangga menuju kamarnya. Saat
membuka pintu kamarnya, terlintas dalam benaknya untuk pergi ke kamar ayahnya.
Semenjak ibu pergi tidak sampai Gofar masuk atau sekedar mengetuk pintu kamar
ayahnya. Rupanya tidak banyak berubah, ayah tetap menyimpan kenangan bersama
ibu melalui sederetan poto di dinding. Beberapa rak berisikan berkas-berkas
kerja cukup berantakan, karena biasanya ibu yang membereskan. “oh iya, berkas
kesehatan ibu”. Sontak Gofar dalam benaknya. Karena teringat masa perceraian
itu ia berusaha mencari berkas-berkas misteri itu. Berulang kali mengecek laci tak
kunjung ditemukam Sampai pada akhirnya Gofar menjatuhkan setumpuk kertas di
atas meja kerja. Lembar demi lembar ditumpuknya kembali, Gofar tercengang
melihat tulisan tangan mengenai dirinya. Tampak jelas tulisan itu memenuhi
halaman kertas.
“ Gofar, anak
satu-satunya harapan keluargaku. Entah dari mana harus menjelaskan kondisi
pelik ibunya. Keputusanku untuk bercerai sudah bulat, ya tentu saja karena aku
ingin anakku selamat. Gofar tidak akan mengerti begitu saja. Karena itu aku
menunggunya untuk sadar. Tapi, itu adalah kesalahan besar. Aku sudah terlambat,
Gofar terlalu lama hidup bersama ibunya. Ia mulai berbicara sendiri ditelepon,
mengirim pesan ke nomer yang bahkan tidak ada di buku telepon. Oh Tuhan apa
dosaku?. Aku berharap Gofar akan normal seperti anak biasanya, pergi sekolah,
memiliki banyak teman, bukan berteman dengan Rifai yang dikhayalkannya beberapa
minggu terakhir. Ingin sekali aku membawanya ke dokter, tapi seorang ayah tidak
akan tega mengantarkan anak kandungnya ke rumah sakit jiwa.
“pembohong, ibu tidak sakit.
Ayah hanya mengakalinya!”. Ucap Gofar sambil merobek kertas tersebut. Disusul
amarah yang menguasainya, Gofar mencari berkas kesehatan ibu di segala penjuru
kamar, namun nihil. Sampai akhirnya Gofar berusaha menemui ibunya melalui mimpi
untuk membuktikan kalau kenyataan ini hanya omong kosong. Gofar mulai
memejamkan mata, berulang kali mencoba untuk tidur namun tak kunjung lelap. “
ahhhh! Kenapa bisa sesulit ini!”. Kesal Gofar. “cukup Gofar, cukup! Ayah tidak
tahan lagi. Hentikan ritual anehmu itu!”. Sontak ayah yang tengah berdiri
bersama Yulia. “ ayah, Yulia?! Kalian semua berbohong. Ini semua hanya akal licik
kalian saja kan?”. Ucap Gofal. “kamulah yang selama ini berbohong, Gofal. Itu
hanya imajinasimu!”. Sambung Yulia. “diam! Semuanya tolong diam! baru saja Aku mengetuk
pintu rumah Rifai. Rumah itu benar-benar ada!”. Ucap Gofar dengan nada tinggi.
“maksudmu, bangunan di Jl. Pandan 290? Itu bukan rumah Gofar, itu bangunan perpustakaan
yang terbakar beberapa bulan lalu. Rifai itu tidak ada!”. Papar Yulia. “temanmu
benar, Gofar. Kamu juga mencari berkas tentang ibu bukan? Ayah membawakannya
untukmu, dan bisa segera menyadarkanmu”. Ucap ayah sambil memberikan berkas.
Tak lama setelah berkas itu dibaca, Gofar mulai memadamkan amarahnya. Raut
wajahnya yang tegang mulai kendur. Hingga pada halaman terakhir air mata
mengalir di kedua pipinya. “maafkan ayah, Gofar. Tidak bermaksud untuk
membohongimu, tapi ayah cukup menderita dengan keajaiban mimpi dan imajinasimu.
Tolong sadarlah, Nak”. Sambung ayah
dengan nada pilunya. “ibumu mengidap SKIZOFRENIA stadium akhir. Dan Psikiater
itu juga mengatakan hal yang sama terhadap tingkah anehmu belakangan ini, Gofar!”.
Tegas Yulia.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "SKIZOFRENIA - Nuryaman - Lomba Menulis Cerpen"