-->

Surat Cinta dari Rumah Kedua - Fitri Wulandari - Lomba Menulis Cerpen

Surat Cinta dari Rumah Kedua
Fitri Wulandari

Semburat jingga menemani ayunan langkahku di bawah lampion dunia yang mulai meredup senja ini. Rasanya aku sudah tidak tahan dengan rasa pegal yang melanda kaki dan pundakku. Ritual mengayuh sepeda dengan tas besar yang berisi tumpukan buku tebal di punggung kecilku mungkin cukup untuk menjelaskan semuanya. Kupandang langit senja di atasku, aku ingin terbang, aku ingin melepas penat yang sudah menjamur dalam kehidupan yang membosankan ini. Jika aku ingin bunuh diri kira-kira apa reaksi yang akan kuterima dari mereka semua, batinku mulai kacau. Toh mungkin mereka tak akan memberiku reaksi apapun selain kata “jangan” yang mungkin malah akan kuartikan sebagai “silahkan”.
Kupejamkan mataku, merentangkan kedua tanganku seolah sebentar lagi aku akan terbang. Kegiatan ini mungkin belum berhenti  jika saja tidak ada sebuah suara yang mengganggu kenikmatan ketenanganku ini.
“Mei! Sedang apa kamu, ini sudah sore. Ayo!”, suara teduh itu menarikku keluar dari sepasang sayap yang akan mengajakku terbang. Dan biarlah, aku menyukai senja jadi tidak ada masalah bagiku. Dia memandangku, lekat. Mungkin baginya aku adalah seorang makhluk aneh dari dunia lain yang saat ini tengah berdiri di hadapannya dengan penampilan yang acak-acakkan.
“Aku mencintai senja, Lila. Kau tidak usah khawatir”, aku menggerutu padanya. Namun, kenyataannya aku tetap mengiyakan ajakan gadis hitam manis di depanku ini. Memasuki dunia tempatku mengurung, asramaku, dunia yang di dalamnya banyak sekali pesaing tangguh yang memiliki jutaan mimpi di benak masing-masing. Dan sekarang aku di sini, berdiri di tempat ini. Tapi, aku tidak seperti mereka, aku tidak mempunyai mimpi-mimpi itu ketika masuk dunia ini. Aku hanya lari dari apa yang tidak kusenangi.
“Lagi-lagi kau melamun, Mei. Ada apa denganmu?”,dan suara itu kembali mengangguku. Aku mendengus keras.
Kubuka pintu kamarku dengan kasar diikuti Lila yang hanya bisa menatap nasib pintu itu, pasrah. Menghempaskan tubuh  penatku di atas kasur, kuedarkan pandanganku mengelilingi ruangan sederhana ini. Bahkan ruangan ini tiga kali lebih sempit dari kamarku, bagaimana bisa aku sudah menempatinya selama hampir dua tahun. Baru saja hendak memasuki alam mimpi, suara seseorang membangunkanku. Kupikir itu Lila karena jika benar itu dia aku akan dengan senang hati memarahinya.
“Mei, ada tamu untukmu”, itu suara Liza, tetangga kamar yang sangat menyebalkan dengan hobinya yang suka mengganggu ketenangan orang lain.
Kukumpulkan kesadaranku sebelum menemui “tamuku” tadi. Mencoba menebak siapa yang datang kubuka jendela kamar, ah mereka lagi. Kenapa mereka selalu datang ke sini, melihat mereka hanya akan membuat luka lama itu kembali ternganga.
“Mei, temuilah mereka. Sudah beberapa bulan ini kau tidak menemui mereka setiap mereka datang menjengukmu”, Lila yang baru datang mencoba membujukku.
“Aku tidak mau, Lila. Apa untungnya jika aku bertemu mereka, tidak ada, kan?”, tanpa memandang Lila ucapan yang cukup pahit itu meluncur dari bibir mungilku.
Lila terdiam mencoba memahami makna dari ucapanku, aku menatap pada senja yang belum juga hilang.
“Mai, ke sini. Ayah punya mainan baru untukmu”, ucap sosok itu sambil terseyum bangga. Gadis kecil yang dipanggil Mai itu hanya tersenyum, lalu menyerahkan mainan yang baru ia terima kepada Mei, sosok yang begitu lembut dan pendiam yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Ya, Mai dan Mei, dua saudara kembar yang tidak akan pernah bisa dipisahkan.
Lelaki yang dipanggil “ayah” oleh Mai tadi hanya memandang Mei iba, ya dia melupakan sosok mungil yang satu ini. Namun, entah mengapa terselip sebuah benci di hatinya. Kasar, ia merebut mainan yang dipegang olehnya, Mei hanya diam dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tangisnya pecah. Tidak ada orang yang meredakan tangisnya di sana, tidak ada bunda yang akan memeluknya. Ayah bilang Meilah yang telah membunuh bunda.
Lelaki itu menggendong Mai dan meninggalkannya, sendiri di taman kecil itu. Mei hanya bisa menangis berharap sosok bunda yang ia rindukan akan datang menemuinya. Tapi, sosok itu tidak pernah datang. Mei: Aku membencimu, Ayah!
Saat itu usiaku sudah delapan tahun, pantas jika sampai sekarang rasa sakit itu masih mengakar sebab aku pun tidak memiliki keinginan utnuk menghapus memori menyakitkan itu. Biarlah kenangan itu menjadi benang merah dalam hidupku yang tak berharga ini. Napasku terasa berat, hingga tubuhku rasanya melayang, aku tak sadarkan diri.
“Mei, Mei..?”, suara-suara bising itu berdengung di ujung telingaku. Aku ingat suara itu, suara teduh bunda, bunda memanggilku, dia ada di sini. Sekarang aku melihatnya, bunda memakai gaun yang begitu cantik dengan wajah yang bercahaya. Aku mencoba mendekati bunda tapi, kenapa tidak sampai-sampai, rasanya lantai ini berjalan mencoba memberiku jarak agar aku tidak bisa mencapai bunda.
“Mereka menyayangimu, Mei.... Kembalilah...”,sayup suara bunda tertangkap indra pendengaranku namun bunda semakin menjauh dari tempatku berdiri, bayangan itu menjadi buram, aku berlari mengejarnya tapi bayangan itu lebih dulu menghilang.
“Bunda!!!”, aku tersentak disambut suasana lenggang dan suara jangkrik yang berpesta di tengah gerimis malam. Kemana bunda? Kamarku masih dalam keadaan gelap, juga Lila yang masih terlelap memeluk guling kesayangannya. Aku terisak, rasa rindu ini begitu membuncah. Kulalui malam ini dengan bayangan bunda yang duduk di pelupuk mataku.
“Mei! Bangun, Mei! Cepat”, ah teriakan itu lagi. Aku mencoba untuk bangun dan meregangkan otot-otot sendiku yang sedikit kaku. Membuka mataku perlahan, aku terbelalak.
“Ada apa, Lila? Wow!”, kukerjapkan mataku beberapa kali untuk menyadari bahwa saat ini ada puluhan balon warna-warni yang ada di depan mataku. Pintu kamarku terbuka, tapi kulihat di luar gelap hingga...
“HAPPY BIRTHDAY TO MEI, HAPPY BIRTHDAY TO MEI, HAPPY BIRTHDAY TO MEI!!!”, lagu itu terlantun begitu indah dari teman-temanku. Hari ini tepat 13 Februari 2016, mereka merayakan ulang tahunku yang aku sendiri selalu melupakannya. Air mataku tanpa izin sudah mengalir melewati pipiku, bahkan ketika Liza, tetangga penggangguku membawakan sebuah kue ulang tahun di hadapanku. Mereka punya cara untuk membuatku bahagia.
“Mei, kami punya sebuah “Surat Cinta” untukmu. Pejamkan matamu dan dengarkanlah!”, ku pejamkan mataku, menanti Lila membacakan “Surat Cinta” untukku.
Teruntuk Meila Syahara
Mei, ingatkah ketika pertama kita bertemu di tempat ini? Sebuah gedung tua yang telah menyimpan ratusan cerita dan sekarang kisah kita abadi di dalamnya. Mei, ketika itu kita berjanji akan menjadi sebuah keluarga. Ini kita Mei, kisah kita yang sebentar lagi akan usai.
Air mataku kembali turun, kelebatan peristiwa yang lalu kembali berloncatan di ingatanku.
Mei, yang upik. Ingatkah ketika gumpalan tepung sagu dan telur serta air sabun itu mengenai tubuh kita, moment yang sangat berbeda, bukan? Namun, ingatlah yang lalu, si mungil yang terluka. Mei, lupakanlah masa sakit itu. Mereka manyayangimu, ayah yang selalu menatapmu kala kau telelap, saudara yang selalu memandang fotomu, menanggung rindu. Mei, mereka tetap di belakangmu. Mei, Mei yang upik, Mei itu milik kami.
Tangisku pecah, lilin sudah menyala. Bergetar aku meniupnya dengan berbagai harapan baru di hatiku. Kami saling berpelukan, mereka teman-temanku, keluarga dari rumah keduaku. Yang memiliki cara berbeda untuk membuatku tertawa.
“Mei?”, suara berat itu. Aku menolehkan kepala, mereka di sini.
“A...Ayah? Mai?”, aku menghambur. Memeluk keduanya, pelukan ini terasa begitu erat seolah aku akan berlari jauh jika mereka melepasnya. Bunda, aku kembali. Aku melihat bunda tersenyum di ujung mataku.

Aku memandang wajah-wajah yang telah menemaniku selama dua tahun terakhir ini. Inilah keluargaku, yang menyayangiku dengan cara yang istimewa, keluarga kedua yang luar biasa, yang memberiku sepucuk surat cinta dari rumah keduaku, asrama tercinta. Keluarga hebat yang menyadarkanku agar kembali menyadari kasih sayang dari keluargaku yang sebenarnya, sebuah keluarga yang lebih dari indah.
0 Comments for "Surat Cinta dari Rumah Kedua - Fitri Wulandari - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top