Tak Lihat, Padahal di Sisi
Rr.
Ike Rachmania S
N
|
egeriku,
sebut saja negeri Merak. Negeri yang sangat indah layaknya bulu-bulu burung merak
yang begitu berwarna-warni. Tapi, tak bisa terbang. Negeri Merak adalah negara
agraris yang memiliki lahan yang sangat luas. Memiliki kekayaan alam yang
sangat beragam. Mulai dari lautan, hingga daratan yang sangat variatif. Tapi, sayang rakyatku
mengabaikan. Mereka membangun bangunan megah, mereka terus mengeruk
dalam-dalam, mereka terus menebang hutan-hutan, menggunduli lahan. Ya, berbuat
kerusakan. Seiring berjalannya waktu, semakin parahlah yang terjadi. Kerusakan
dimana-mana. Padahal itu berdampak padanya sendiri. Itulah hidup, terkadang
beberapa hal terabaikan.
Di
suatu Desa Bulu, desa yang sangat indah dengan kekayaan alam yang melimpah dan
pepohonan yang masih lebat layaknya hutan. Disana tinggalah sekumpulan
masyarakat yang hidup dengan tentram dan damai. Mereka layaknya tak memiliki
masalah. Mereka tak pernah berkeluh kesah. Wajahnya merona bersinar, bertabur
senyum manis. Sangat nyaman dipandang. Tapi, entahlah apa yang ada dalam hati
mereka tak satupun tahu. Desa ini bersebelahan dengan kota besar, yaitu Kota Berat.
Begitu terlihat kontras apabila view
diperjauh. Kota Berat, kota yang penuh dengan bangunan-bangunan megah
bertingkat layaknya negara maju, padahal bukan. Disana masyarakat yang tinggal
sangat berbeda jauh dengan desa bulu. Mereka terlihat begitu banyak masalah,
dan keluh kesah. Wajahnya sangat kusut. Tidak nyaman dipandang.
Suatu
ketika salah satu dari warga desa dan kota bertemu. Bapak bagus dari Desa dan
ibu Asih dari kota. Mereka sama-sama bekerja di bidang keseimbangan lingkungan
dan kemasyarakatan. Mereka baru saja saling mengenal, dan banyak
berbincang-bincang mengenai negeri Merak ini.
Saat
itu Bapak Bagus bertanya, “Maaf Ibu, apakah pandangan orang-orang di Kota Berat
mengenai negeri ini?”.
Ibu
Asih menjawab, “Sangat sulit menjawab pertanyaan seperti ini, Pak”.
“Ada
apa Ibu? Apakah sedang ada permasalahan yang terjadi?”.
“Banyak,
banyak sekali, Pak. Negeri kita ini seperti sedang diterjang ombak besar”.
“Ombak?
Maksudnya bagaimana, Bu?”.
“Perbedaan
prinsip di kota dan di desa, Pak”.
Kalimat
terakhir Ibu Asri membuat Pak Bagus terdiam. Ibu Asripun tidak ingin
melanjutkan perbincangan itu. Rasa bertanya-tanya dalam diri Pak Bagus begitu
besar setelah mendengar perkataan bu Asri. Ia belum pernah merasakan
permasalahan seperti itu, Ia merasa hidupnya damai-damai saja dan serba
kecukupan. Walaupun mereka hanya memanfaatkan apa yang bisa dimanfaatkan di
alam. Seperti pohon-pohon buah yang tumbuh alami, daun-daun, bunga-bunga yang
indah. Semua kekayaan alam di negeri Merak baginya sudah cukup menghidupi
keluarganya. Bahkan, membangun tempat tinggal atau rumah yang biasa disebut
sebagai papan, merekapun bisa memanfaatkan kayu dari pohon-pohon itu.
Mengolahnya dan memanfaatkannya tanpa merusaknya. Sedangkan kehidupan yang
dirasakan ibu Asih sangatlah berat. Mereka bekerja sepanjang hari untuk
mendapatkan uang. Tapi, hanyalah uang saja yang mereka punya. Sebatas “lembaran
kertas”. Apa fungsi uang apabila tidak ada kekayaan alam? Masyarakat Kota Berat
bahkan mengimpor makanan dalam jumlah besar dari luar negeri. Kemudian apakah
artinya? Bekerja keras untuk membayar luar negeri? Itu adalah kehidupan yang
rumit. Permasalahan yang selalu dipikirkan oleh Ibu Asih adalah permasalahan
itu. Kekayaan alam Negeri Merak memang sangatlah banyak, tapi entah mengapa
untuk memenuhi kebutuhan Kota Berat tidak cukup. Kekayaan itu hanya dapat
memenuhi kebutuhan Desa Bulu. Pertanyaan yang membuat Ibu Asih bertanya-tanya
adalah “Apakah memang tidak mencukupi? Ataukah pengolahan yang kurang maksimal?
Atau bahkan masyarakat Kota Berat sendiri yang kurang menghargai produk dalam
negeri?”.
Bertahun-tahun
lamanya Ibu Asih berusaha menyelesaikan permasalahan ini bersama
rekan-rekannya. Tapi, tidak berhasil. Hingga akhirnya Ibu Asih memutuskan untuk
kembali datang ke rumah Pak Bagus.
Sesampainya,
Ibu Asih memulai dengan perbincangan ringan, “Mohon maaf bapak, saya datang
kembali untuk menanyakan beberapa informasi”.
Dengan
sangat terbuka Bapak Bagus menjawab, “Silahkan, Bu”.
“Saya
ingin mengetahui pak, bagaimana kehidupan di Desa Bulu ini?”
“Masyarakat
di Desa Bulu hidup sangat tentram dan damai. Saya melihat warga sangat
berbahagia tidak pernah berkeluh kesah dan tidak pernah merasakan kekurangan”.
“Bagaimana
bisa seperti itu, Pak? Bukannya penghasilan warga di Desa lebih rendah daripada
di Kota?”
“Memang
benar, tetapi kita memiliki apa yang tidak dimiliki warga Kota”
“Apakah
itu Pak?”
“Kekayaan
alam”
Ibu
Asih terdiam, berpikir sejenak. Kemudian berusaha melanjutkan penggalian
informasi, “Bisakah Bapak menceritakan lebih lanjut?”
“Jadi
Bu, memang benar masyarakat kota memiliki uang banyak. Tapi bagi kami itu hanya
sekedar lembaran kertas. Kekayaan alam lebih berarti bagi kami. Dengan kekayaan
alam uang seperti tak berguna, kami dapat makan dari kekayaan alam yang ada
tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Kami dapat membuat rumah juga tanpa
mengeluarkan uang sepeserpun. Untuk itu kami merasa bahwa kekayaan alam lebih
berharga daripada uang. Itulah sebabnya masyarakat di desa lebih memilih
mengolah kekayaan alam untuk hidup daripada mencari uang untuk hidup. Uang bisa
habis, tapi kekayaan alam? Luar biasa melimpah apabila diolah dengan benar”.
“Mohon maaf Pak, menurut bapak apakah cukup
kekayaan alam negeri merak ini untuk seluruh warga? Bukan hanya desa saja tetapi
kota juga”.
“Tentu
cukup. Pemerintah saja yang kurang perhatian!”, Pak Bagus mulai kesal.
Perbincangan
berlangsung panjang, hingga akhirnya Ibu Asri kembali ke Kota Berat dan
mendiskusikan dengan rekan-rekannya lagi. Kali ini Ia berusaha merubah pemikiran
orang-orang Kota Berat betapa pentingnya kekayaan alam dibandingkan dengan
uang. Ibu Asri memulai dengan merubah mindset rekan-rekannya hingga akhirnya Ia
sering melakukan sosialisasi kemana-mana di Kota, untuk membuat warga Kota
menyadari kenyataan ini. Ia juga menjelaskan betapa cerah dan bahagianya warga
Desa Bulu walaupun hidup tanpa uang. “Sedangkan kita, warga kota. Kita memiliki
banyak uang tapi semua bermuka masam”, ujarnya.
Tidak
semudah yang Ibu Asih pikirkan. Mengubah mindset
warga Kota adalah hal tersulit baginya. Kemudian, Ia memutuskan untuk
memulainya dengan diri sendiri. Ia sering berkunjung ke desa, kemudian Ia juga
menanam tanaman-tanaman yang dapat dikonsumsi di sekitar rumahnya. Ia
mempelajari teori pertanian, seperti pertanian dalam kota, pertanian atap,
hidroponik dan lainnya. Mendesain rumahnya sangat indah dengan
tanaman-tanamannya. Hingga membuat setiap orang yang berkunjung ke rumahnya
merasa nyaman. Asri, indah, dan rindang, itulah rumah Ibu Asri. Tidak hanya
itu, bahkan orang-orang yang melewati rumahnya juga sangat tertarik melihatnya.
Tak jarang beberapa orang yang sedang dalam perjalanan sengaja menghampiri
rumahnya dan sedikit berbincang-bincang. Semenjak itu, dimulai dari teman-teman
dekat bu Asri yang mulai mengikuti mendesain rumah dengan tanaman perkotaan.
Kemudian perlahan-lahan hampir seluruh penduduk kota juga menanam tanaman
perkotaan di rumah mereka. Hingga akhirnya seluruh rumah di kota dihiasi dengan
tanaman perkotaan.
Kehidupan
di kota mulai berubah. Pemerintah sudah mulai tertarik dan campur tangan. Banyak
riset dilakukan, dan banyak pula kegiatan-kegiatan pertanian yang mulai
ditingkatkan. Kini desain kotapun hampir menyerupai desa, pepohonan
dimana-mana. Tetapi tetap saja di kota lebih modern. Riset menunjukkan bahwa
tanaman maupun tumbuhan memiliki manfaat yang sangat banyak. Mereka dapat
dijadikan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Negeri ini. Impor
mulai berkurang, hingga akhirnya tidak sedikitpun kami mengimpor. Sebisa
mungkin ekspor akan ditingkatkan. Pemerintah mulai memikirkan hal tersebut demi
memajukan negeri ini. Tanpa mereka sadari tidak hanya itu saja, manfaat yang
paling utama adalah jumlah oksigen di bumi semakin meningkat dengan banyaknya
tanaman. Peningkatan oksigen juga berdampak terhadap hal lain juga, contohnya
adalah jumlah air jernih meningkat, keragaman hayati juga meningkat seiring
kebutuhan oksigen mahluk hidup yang tercukupi, dan bahkan tingkat kesehatan
masyarakatpun juga meningkat. Hal-hal positif tersebut sangat menunjang
kemajuan Negeri ini. Perlahan Merak ini bisa terbang. Jika pemerintah dan
masyarakat terus meningkatkan dan berusaha memajukan. Menyeimbangkan hidup dan
mati bangsa, dari segi pangan dan angka kematian dan kelahiran. Keseimbangan
komunikasi dan lingkungan. Yaitu dengan tetap melanjutkan menerapkan pertanian
berbasis perkotaan yang telah dibentuk oleh Ibu Asri. Begitu besar peran Ibu
Asri dalam hal ini. Tidak heran, Ibu Asri adalah orang yang sangat luar biasa.
Ia sebagai orang pertama yang memacu kelestarian lingkungan kota, dianugrahi
penghargaan Adipura, Nobel, dan penghargaan-penghargaan lainnya dari berbagai
pihak. Bahkan, setelah mendapatkan penghargaan yang sangat banyak, Ibu Asri
tidak berhenti dan tinggal diam. Ia tetap melanjutkan apa yang telah
dibentuknya, Ia terus mengembangkan dan membuat inovasi-inovasi supaya tidak
hanya warga negeri ini saja. Tetapi, warga dunia juga. Ia tetap melakukan
penyuluhan-penyuluhan mengenai betapa pentingnya kekayaan alam dibandingkan
dengan lembaran kertas (uang) dan mengadakan pelatihan-pelatihan mempraktikan
pertanian perkotaan. Tidak disangka, ketika nama Ibu Asri sudah harum dan banyak
dikenal orang di Negerinya atau bahkan di Dunia. Begitu mudahnya untuk
mempengaruhi orang lain dan membuat orang lain tertarik dengan pertanian
perkotaan. Ternyata, Ia baru menyadari kali ini, bahwa sebagian orang lebih
menghargai dan mempercayai siapa yang menyampaikan berita bukan apa berita yang
disampaikan. Ibu Asri menganggap itu adalah hal yang biasa. Hal terpenting
baginya adalah bagaimana seluruh manusia di Dunia menghargai kekayaan alam dan
mengolahnya sebaik mungkin, karena mungkin belum mereka sadari
manfaat-manfaatnya. Saat ini, seluruh manusia di Dunia ini, baik di desa maupun
di kota, baik di pesisir maupun di pusat, seluruhnya telah mengerti pentingnya kekayaan alam. Seluruh dunia
juga mulai menerapkan penanaman-penanaman beragam tanaman yang bermanfaat.
Hingga akhirnya kata “impor” dihapuskan. Seluruh dunia bisa memenuhi kebutuhan
masing-masing negaranya.
Kehebatan
Ibu Asri tersebut dikenang sepanjang masa, dengan dipatenkannya nama Ibu Asri
sebagai Ibu Lingkungan dan Kemasyarakatan Dunia. Penghargaan-penghargaan yang
luar biasa yang didapatnya itu tidak membuat Ibu Asri lupa akan jasa-jasa Pak
Bagus yang telah membimbing dan membuka mindset
nya. Bahkan ketika di wawancarai oleh wartawanpun, Ibu Asri selalu mengundang
Bapak Bagus dan mengatakan “Sejauh ini, Bapak Agus lebih mengerti”. Tidak lupa
Ibu Asri selalu mengucapkan “Terima Kasih” kepada Bapak Agus yang benar-benar
bisa merubah dunia, yang bisa membantu menyelesaikan permasalahan Dunia, kota
Berat terutama. Bahkan, bisa membawa Negeri Merak ini terbang dengan
sayap-sayap buatan. Ya, Negeri Merak telah maju. Tidak ada kekusutan wajah,
tidak ada permasalahan-permasalahan. Semua hidup bahagia, dengan wajah yang sangat
nyaman dipandang, dan hidup yang penuh dengan kebahagiaan. Ibu Asri selalu
berpesan “Jangan pernah kalian melupakan alam ini. Rawatlah, jagalah,
optimalkanlah, maanfaatkan. Jangan pernah kalian merusak alam ini. Ingatlah!
Hidup dan mati bangsa bergantung pada alam ini. Ingatlah! Uang hanya sekedar
lembaran kertas. Sedangkan kekayaan alam? Begitu melimpah manfaatnya”.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Tak Lihat, Padahal di Sisi - Rr. Ike Rachmania S - Lomba Menulis Cerpen"