Diantara
Kota Pelajar dan Kota Hujan
Denis
Cyntia Melida Puspita Sari
Tujuh
jam sudah aku duduk didalam mobil persegi panjang besar yang membawa sekitar
puluhan orang menuju daerah tujuannya masing-masing. Langit sudah berubah menjadi
gelap, pemandangan luarpun hanya terlihat seperti jurang dalam yang tak
berkehidupan. Jogja-Bogor, perjalanan yang lebih banyak melewati persawahan
daripada perumahan atau memang jalur untuk mobil jenis ini adalah jalur seperti
ini. Entahlah, banyak pikiran yang silih berganti memenuhi benakku ketika aku
hanya termenung memandangi pemandangan luar dari balik jendela kaca yang
sekarang sedang dipenuhi rintikan air gerimis.
Aku
seneng banget karna akhirnya aku ke Bogor juga untuk presentasi paper yang
lolos seleksi.Yuppp touch down Bogor
aja udah bikin aku seneng, apalagi lolos final seperti ini. Perasaan
gado-gadopun ikut menyelimuti karna aku ke Bogor bareng sesorang yang mmmm...
bingung aku jelasinnya seperti apa. Aku masih belum tau aku menyukainya sebagai
sahabat atau sebagai seorang cowok, yang jelas aku lagi berdua banget dengan
dia sekarang. Hal itu yang bikin aku sedikit risau. Aku tahu bahwa aku pernah
berusaha meyakinkan diriku kalau aku ga bakal pergi berdua lagi sama seorang cowok
dan sekarang aku melanggar janjiku itu. Aku tau kalau nggak sama dia sama siapa
lagi aku pergi. Tiga teman tim ku udah berangkat duluan, tinggal aku dan dia
yang masih stay Jogja dan baru bisa
berangkat sekarang. Praktikum yang terkadang menyebalkan yang bikin kita
ketinggalan rombongan.
“Bill..., kamu
kenapa ?”, tanya nya membuyarkan lamunanku.
“Eh sejak kapan
kamu bangun ?”, jawabku sedikit agak kikuk. “Mmmmm...cuma mikir aja kapan
nyampe nya, hehehehe”, jawabku sekenanya.
“Yaelah...baru
jam segini tanya nyampe jam berapa”.
Aku hanya
tersenyum tipis mendengarnya, pertanyaan bodoh sih tapi ya udah lah udah
terlanjur keluar.
“Papa...kenapa
gelap cekali ?”, tiba-tiba suara kecil menyelutuk dari belakang di tengah
keheningan malam.
“Ya kan malam
sayang...”.
“Kan ada lampu
papa, kenapa ga dikasih lampu ?”.
“Mungkin lupa
belum dinyalain lampunya makanya gelap”.
Aku tertawa geli
mendengarnya
“Lucu banget dedeknya
yang di belakang ya Dil”, kataku dengan sedikit mengarahkan pandanganku
kepadanya.
“Iya imut
banget”.
Kayakya cowok
deh, terus pipinya tembem kaya bakpou gitu
“Engga yaww,
cewe”.
“Lhoh ko tau”.
“Ya kan aku dah
leat”.
“Coba leat deh
lucu banget, tu dia lagi berdiri di kursi, lucu kaya kamu. Pasti pas kecil dulu
kamu kaya gitu”.
Akupun penasaran
dan menoleh ke belakang ke arah sumber suara. Remangan lampu di bis membuatku
bisa melihatnya dan teryata dia emang lucu banget.
“Kaya nya asyik
ya Dil kalau bepergian kaya gitu terus ngajakin anak kecil”, entah darimana
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Iya menenangkan
banget pasti”.
Degggg....kenapa
tiba-tiba suansanya jadi syahdu banget kaya gini ya....
Malam itu
bener-bener menjadi malam terindah dalam hidupku. Aku ngga pernah menduga kalau
aku bakal berduaan kaya gini dengan orang yang aku masih bingung nyebutinnya,
entah suka, kagum atau apa.
“Billa, leat itu
deh....”, kata Fadil sambil menunjuk keluar jendela dekatku.
Akupun mengikuti
perintahnya. Jajaran cahara mirip kunang-kunang tersusun rapi, bertumpuk,
sejajar di pertengahan sawah. Selang beberapa detik, “Bagus ya....”, ucap kami
bersamaan.
Diantara
remangnya lampu aku masih bisa melihat dia tersenyum tipis dan aku pun menundukkan kepala. Untung saja
semuanya hanya samar-samar, kalau engga dia pasti bisa melihat pipi ku yng
mungkin aja sedang memerah kaya udang rebus. Aku ngga tau sejak kapan aku kaya
gini ke Fadil. Dulu awal semester aku biasa aja ke dia, semester dua pun
berlanjut dan kita tetap menjadi teman, dan kini semester tiga, mungkin karna
dulu kita sering bersama, main bersama, dan sekarang kita berada pada proyek
yang sama.
“Oh iya buat besok
kita mau presentasi kaya gimana ?”, ucapku untuk memecahkan kesunyian.
Malam
yang panjang itu akhirnya kita habiskan dengan obrolan soal kegiatan
masing-masing dan sama sekali ngga bahas soal presentasi besok. Entahlah
mungkin saat itu kita hanya ingin seperti itu. Kemudian Fadil mengeluarkan headset dan menawariku untuk
mendengarkan lagu kesukaanya. Aku dengan mudah menerima tawarannya dan kitapun
terdiam dalam alunan musik yang jujur biasa aja bagiku. Aku emang ngga terlalu
bisa menikmati musik dan musik itu menjadi pengantar tidur untukku.
Kini
semua itu sudah berakhir, aku dan tim mendapat juara 3 dalam presentasi itu. Not bad lah, kita dah sampai final.
Kenangan dalam bis itu tetep aja melekat diingatanku. Hingga kini aku ngga tau
perasaannya ke aku seperti apa. Tapi aku merasakan bahwa dia menganggapku tetap
teman sama seperti pertama kali kita kenal dan aku sendiri entahlah, aku ngga
tau juga seperti apa. Intinya aku suka dia, kagum, dan salut aja. Satu lagi
yang berhasil bikin aku melting, di
karcis kita ditulis keluarga Fadil. Sepele sih tapi aku suka aja melihatnya,
dan karcis itu disimpan olehnya yang belom sempat ku foto buat
kenang-kenangan...:)
Semua
yang pernah terjadi antara aku dengan dirinya, selama 14 jam perjalanan
Jogja-Bogor biarlah menjadi kenangan. Perjalanan itu indah untuk dikenang tapi
tak indah untuk diulang. Aku sadar dia menghormati ku sebagai seorang
perempuan, dia ngga pernah menyentuh kulitku dan selalu berusaha menjagaku.
Akupun juga harus begitu, aku harus menjaga aurat ku dan pikiran-pikiran yang
dengan mudahnya setan masuk. Aku takut jika karna hal itu posisi-Nya di hatiku
menjadi tertutup oleh dia.
Terkadang
aku terlalu memikirkan dia dan berharap hal seperti itu akan terulang lagi.
Betapa bodohnya diriku yang dengan mudah dipermainkan setan. Betapa lemahnya
diriku karna setan telah merajai pikiran ini. Bukankah Allah telah berfirman
bahwa perempuan yang biak-baik hanya untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik hanya untuk perempuan yang baik. Bukankah itu seharusnya cukup bagiku
untuk dijadikan penjelasan bahwa aku ngga perlu risau atau memikirkan hal-hal yang
ngga penting. Hal seperti itu sudah diatur oleh-Nya, dan pada suatu hari nanti,
disaat yang indah nanti aku pasti dipertemukan oleh laki-laki yang baik untukku
karna yang baik menurutku belum tentu baik menurut-Nya dan yang buruk bagiku
belum tentu buruk menurut-Nya. Tugas ku disini hanyalah belajar dengan rajin,
berkuliah dengan baik, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan lomba maupun kemasyarakatan
agar aku selalu hidup dalam kebermanfaaat bagi orang lain.
Aku
ingin menjadi ibu yang berpendidikan untuk anak-anak ku nanti Aku ingin hidupku
ngga hanya sekedar seonggok daging yang punya nama. Aku ingin selalu
mendekatkan diri kepada-Nya karna hanya kepada Dialah hati ini melantunkan
cinta. Buat dia yang ada disana, kusampaikan rinduku dalam pelukan doa dan
lantunan rindu itu biarlah aku dan Sang Maha Pembolak-balik hati yang tau.
Yogyakarta,
dipenghujung Oktober
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
1 Comments for "Diantara Kota Pelajar dan Kota Hujan - Denis Cyntia Melida Puspita Sari"
endingnya bagus terus yang harus diperhatikan adalah kurang teliti dalam hal penulisan tidak berpotan kepada EYD