MEMELUKMU
ERAT
Karya : Nazwa Fajrani
“Cinta
pada negara berarti mengabdi, Wir.” tutur Hana dengan sorot mata berbinar
padaku. Suaranya lirih namun tetap dengan nada semangat.
Ya,
dia memang gadis yang memiliki semangat membara dan tak terhingga. Namun, penyakit
yang dideritanyalah yang membuatnya terkapar lemah di ruang putih ini. Sudah
seminggu dia mendekam disini. Penyakitnya memang serius, ia menderita kanker
otak stadium lanjut. Memang kecil peluangnya untuk sembuh. Ini yang pernah aku
aku baca dari sebuah artikel di internet tentang kanker otak.
“Aku
tau Wir, kapasitas hidupku kini terbatas, sangat kecil kemungkinan untuk
sembuh. Namun, bukan berarti itu tidak mungkin Wir!” Hana meyakinkanku saat aku
menceritakan tentang penyakit yang dideritanya.
Bodohnya
diri ini yang semakin hari semakin putus asa dengan ketidakhadiran Hana
dikelas, sedang Hana disini tetap menyemangatiku belajar dan terus berjuang
melawan penyakitnya.
“Stadium
IV berarti sel kanker tampak abnormal dan tumbuh sangat cepat. Tapi itu bisa
diperlambat.” tambah Hana tanpa melanjutkan kembali perkataannya.
Aku
yang tak sabar menunggu kata-kata selanjutnya pun langsung menyanggah,
“Diperlambat? Bagaimana caranya Han? Kamu tau dari mana?”
Dengan
raut muka datar namun tersirat kekecewaan yang mendalam atas penyanggahanku
tadi Hana menjawab,”Kemoterapi, Wir.”
“Apa?”
mataku membelalak seolah tak percaya dengan jawaban Hana.
“Kemoterapi
Han? Tidak! Aku tidak akan tega melihat sahabat terbaikku harus menahan
sakitnya di kemo dan perlahan rambut hitammu ini akan rontok dan akhirnya
kepalamu botak. Tidak! Aku tak akan kuat dengan semua itu Han!” tanpa kusadari
air mataku mengalir perlahan membentuk sungai kecil dikedua pipiku.
“Muhammad
Prawira! Kamu harus yakin pada Hana Gama! Setidaknya aku dapat sedikit
memperpanjang usiaku dengan kemo ini. Muhammad Prawira adalah sahabat yang
tegar. Itu yang pernah aku tau. Doakan saja sahabatmu ini. Sudah, hapus air
matamu. Ini Hana punya sapu tangan.” Hana menyodorkan sapu tangan biru mudanya
kearahku.
Aku
mengusap air mataku, aroma sapu tangan ini begitu kukenali, bau parfum
kesayangan Hana. Aku tau ini karena kami telah bersahabat sejak lima tahun yang
lalu, saat pertama kali menginjakkan kaki di bangku putih biru atau SMP.
Sekarang kami telah berada di tingkat akhir masa putih abu-abu. Dan sebentar
lagi kami akan mengenyam bangku perguruan tinggi yang masih penuh misteri dan
tanda tanya.
Hari
itu, saat aku dan Hana berada disebuah toko buku. Kami asyik berbincang seputar
perguruan tinggi.
“Wir, nanti kalau sudah lulus SMA kamu mau
lanjut kuliah di universitas apa?” tanya Hana mengenai rencana studiku selepas
SMA.
“Japan
University, Han.” aku menjawab pertanyaannya singkat.
“Japan
University? Kamu serius Wir?” Hana terkejut dengan jawabanku seperti ada yang
disembunyikannya dibalik jawabanku tersebut.
“Memangnya
kenapa Han?” tanyaku penuh selidik kerena raut wajahnya berubah seperti
menampakkan kekecewaan.
“Kamu
tidak cinta Indonesia ya, Wir?” tanya Hana pelan.
“Ya
cintalah Han. Maksud kamu apa sih Han? Sepert ada yang kamu rahasiakan.”
Aku
spontan menjawab dengan nada sedikit membentak yang membuat Hana terkejut.
Wajahnya memerah dan matanya berkaca-kaca. Ia berlari menuju pintu dan keluar
dari toko buku tanpa sepatah kata pun. Aku sangat menyesal dengan sikap ku yang
telah membuat luka di hati sahabatku itu.
“Han,
tunggu Han. Maaf Han. Aku tidak bermaksud untuk bentak kamu Han. Maaf Han.” aku
memelas memohon maaf padanya.
Langkahnya
terhenti namun tak berbalik ke arahku. Lama ia berdiri di depanku. Angin lembut
bertiup perlahan menerpa gaun biru dongker yang di kenakan Hana. Rambut hitam
panjangnya tersibak indah oleh desiran angin. Aku langsung menepuk pundaknya
sebagai tanda agar ia berbalik ke
arahku. Namun, alangkah terkejutnya aku saat kulihat di kedua lobang hidungnya
mengalir darah segar. Hana melemah dari pijakannya. Aku langsung menopang tubuh
lemahnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Ini pertama kalinya aku tau
tentang penderitaan Hana yang sesungguhnya. Kanker otak stadium IV.
Hana
kritis selama tiga hari. Aku begitu khawatir dengan kondisinya yang kian
memburuk. Wajahnya putih pucat, bibirnya membiru. Lama aku memandangi wajah
Hana, tiba-tiba matanya terbuka
perlahan. Betapa aku tak bahagia melihatnya. Langsung ku hampiri dia dan ku genggam
erat tangannya yang dingin. Ia menolehkan dengan perlahan wajahnya ke arahku
dan tersungging sebuah senyuman. Hana memang gadis yang kuat. Tak pernah ia
menampakkan kesedihan dan kepedihan yang dirasakannya.
“Wira?
Kamu tidak sekolah?” Hana bertanya perhatian pada ku saat sadar bahwa ini masih
jam belajar di sekolah.
“Tidak
Han.” jawabku singkat karena tak ingin Hana kecewa lebih dalam pada ku.
“Loh kenapa kamu tidak sekolah? Nanti
kamu banyak ketinggalan pelajaran loh.
Katanya kamu mau bersaing denganku dan merebut gelar bintang kelas?” meski
sakitpun Hana masih sempat untuk bergurau.
“Sudah
tidak semangat lagi Han. Soalnya kamu kan nggak ada.” jawabku dengan nada
sedih.
Hana
memalingkan wajahnya, namun aku sempat membaca raut wajahnya. Hana terlihat
sedih dan matanya memerah menahan air mata.
“Wira
tidak boleh pesimis seperti itu. Wira harus tetap berjuang tanpa Hana. Saingan Wira
itu bukan hanya Hana saja loh. Hana sudah
tidaak mungkin lagi pergi ke sekolah, tapi walaupun begitu bukan berarti Hana
sudah menyerah pada takdir dan berhenti berjuang. Hana akan tetap berjuang kok disini, Wir. Berjuang melawan
penyakit ini, Wir.” Hana menjawab kata-kataku dengan lembut dan membuat jiwaku
kembali sadar bahwa perjuanganku masih panjang.
“Wira,
kamu janji sama Hana ya.” ucap Hana memelas padaku dengan mengacungkan jari
kelingkingnya. Aku pun menyambutnya dengan kelingkingku sebagai tanda setuju
dengan perjanjian yang akan kami buat.
“Janji
apa memangnya Han?” aku bertanya dengan penasaran pada Hana.
Hana
menarik tanganku mendekat padanya.
“Wira,
kamu harus janji sama Hana. Wira akan menggantikan posisi Hana sebagai bintang
kelas. Wira juga harus janji tidak akan kuliah di luar negeri, terutama di
Jepang. Wira kuliahnya di Indonesia saja ya. Wira mau kan janji sama Hana?”
Aku
begitu terkejut dengan permintaan Han. Jepang dan kuliah disana adalah impianku
sejak dulu. Aku diliputi dilema. Antara janji dan impian. Namun aku begitu
menyayangi Hana. Kubulatkan tekad ku untuk memenuhi segala permintaannya itu walau
terasa berat.
“Yang
penting Hana bahagia.” aku bergumam dalam hati.
“Iya
Han. Wira janji kok.” jawabku untuk
meyakinkan perasaan Hana.
“Makasih
ya Wir. Kamu memanglah sahabat terbaik yang pernah aku punya. Hana sayang sama
Wira.”
Usai
kalimat terakhir yang diucapkan Hana tiba-tiba Hana merasa sesak. Aku berteriak
memanggi dokter dengan histeris dan penuh kekhawatiran. Ruang tempat Hana
dirawat di tutup rapat. Hanya dokter dan perawatnya yang boleh tetap ada dalam
ruangan. Namun Hana berteriak memintaku untuk tetap berada di sampingnya, namun
dokter menolak permintaannya ini.
Lama
aku menunggu di luar ruangan, dokter keluar dari ruangan Hana. Wajahnya
menunduk menyiratkan bahwa kabar buruk telah terjadi. Tanpa bertanya padanya
aku langsung berlari ke dalam ruangan. Kutemui Hana yang telah tertutup oleh
kain putih di sekujur tubuhnya. Aku merasakan kesedihan dan kekecewaan yang
mendalam. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini. Ku peluk tubuh Hana yang
telah terbujur kaku dan dingin. Tangis ku meledak sejadi-jadinya. Mama dan papa
Hana menenangkanku. Mama Hana mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru dongker,
warna kesayangan Hana, dari dalam tasnya dan menyerahkannya padaku. Kubuka
amplop itu. Didalamnya terdapat sepucuk surat yang penuh dengan torehan tinta
tulisan Hana.
Jakarta, 27 Maret 2016
Dear
Prawira,
Mungkin
saat kamu baca surat ini aku sudah tidak ada di dunia ini lagi Wir. Maafin Hana
ya Wir. Hana banyak permintaan sama Wira. Permintaan Hana juga sulit sekali
untuk di putuskan Wira. Hana tau kok,
Jepang adalah impian Wira. Impian Wira sejak kecil dulu. Wira pernah cerita ini
sama Wira saat pertama kita kenal di SMP lima tahun yang lalu. Tapi Wir, Hana
bukan jahat kok sama Wira. Hana
sayang sekali sama Wira. Karena itu Hana tidak mau kalau Wira sekolahnya di
Jepang, di negara orang. Hana tau Wira adalah anak yang cerdas. Mampu merubah
tatanan dunia. Merubah negeri ini. Saat ini Indonesia sangat butuh kasih sayang
dan perhatian anak bangsanya, Indonesia haus akan kemajuan. Kalau Wira sekolah
di Jepang pasti sewaktu lulus dari kuliah Wira akan di tawari kerja disana, dan
secara tidak langsung Wira membantu membangun negeri orang lain. Jadi, kalau
Wira kuliah di Indonesia sama halnya dengan mencintai negeri ini. Bagaimana
pendidikan Indonesia akan maju, sedangkan generasi emasnya memilih pendidikan
di luar negeri. Jika tidak dari sekarang, mau kapan lagi? Memang susah menata
pendidikan dan bidang lainnya di Indonesia. Tapi ini memang harus di mulai dari
sekarang. Hakikatnya tidak ada sesuatu yang instan. Untuk makan mie instan pun
kita haru memanaskan air terlebih dahulu. Kita harus bangga dengan Indonesia
kita ini. Wira cinta kan dengan Indonesia? Cinta pada negara berarti mengabdi,
Wir. Kamu harus melanjutkan perjuangan pahlawan bangsa kita. Indonesia butuh
Wira! Jangan pernah hiraukan kata orang kalau sekolah hanya sebatas di
Indonesia itu tidak bergengsi. Kamu jangan salah Wir. Orang luar biasa
sebenarnya kebanyakan orang Indonesia. Namun usaha mereka tidak dihargai di
negeri ini dan sebaliknya di akui di negara orang lain.
Tetap
semangat sahabatku Muhammad Prawira! Apapun yang terjadi jangan pernah
hilangkan rasa cinta mu pada negeri ini. Yakin kamu bisa! You can, if you think you can! Thinking the best! Do the best! And get
the best!
Sahabatmu
Hana
Gama
Kulipat kembali surat dari Hana. Seluruh pipiku basah
oleh air mata. Hana benar, Indonesia sangat butuh perhatian anak bangsa.
Generasi emas bangsanya.
Tubuh yang roboh kini telah kembali kokoh. Aku akan terus
berjuang hingga akhir hayatku. Aku akan terus berusaha sekuat dan semampuku
untuk tanah air Indonesia ini. Apapun yang terjadi aku akan tetap dan terus
memelukmu erat. Selesai.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "MEMELUKMU ERAT - Nazwa Fajrani - Lomba Menulis Cerpen"