-->

Hujan, Senja dan Kita - Ulva Afdillah Umar - Lomba Menulis Cerpen

Hujan, Senja dan Kita
Ulva Afdillah Umar

            Gerimis turun perlahan. Menyapu tiap rindu dengan rinainya yang sendu. Gemericik air yang turun membuat nada sendu di ujung telinga. Di tepi jalan sana, orang-orang setengah berlari menghindari rintik air yang kian lebat. Melindungi kepala dari terpaan air hujan. Pakaian yang basah nampaknya menyiratkan gundah di hati mereka.
            Senja mulai menampakkan biasnya dengan malu-malu. Kemilau cahyanya terhalau oleh rintik hujan. Membuat suasana menjadi semakin sendu. Kulangkahkan kaki dengan begitu ringan, tak peduli terpaan air yang membasahi wajah dan rambut. Tak peduli tatapan aneh dari mereka yang menghindar dari dingin dan gigilnya air hujan. ”Ini hanya air, bukan? Kau takkan terluka olehnya.” Gumamku dengan gurat senyum tipis.
            “Hei … Apa yang kau lakukan di sana?” tegur seseorang dari balik kaca mobil yang hitam. Aku menoleh, kutatap lamat kaca mobil yang masih tertutup itu. Seketika itu pula si pemilik menurunkan kaca mobilnya.
            “Ifat?” ucapku setengah kaget. Aku melangkah lebih dekat, kutatap dengan seksama wajah lelaki yang kini semakin dewasa. Aku menyeka ujung mata yang kini berair. Dia selalu saja seperti itu. Tak berubah sedikit pun. Tak pernah memberiku kabar jika ingin datang ataupun pergi. Bahkan ia selalu tahu tempat yang sering aku sambangi saat senja mulai menyapa dengan warna merah saganya.
            “Masuklah. Hujan semakin deras. Kau bisa sakit.” Tuturnya dengan senyum khas yang selalu kurindukan. Sahabat terbaik yang pernah kutemui. Sahabat kecil yang selalu menjagaku layaknya seorang kakak. Aku mengangguk sembari melangkah memasuki mobil mewah yang warnanya kian pudar.
***
            Senja semakin nampak dengan rinai hujan yang kian redah. Ifat mengarahkan mobilnya menyusuri tempat terujung dari kampung halaman kami. Tempat yang selalu kami sambangi saat masih kanak-kanak dulu. Tempat yang kami jadikan sebagai saksi akan mimpi dan cita-cita yang menggantung setinggi langit. Tempat yang kami sebut sebagai pulau senja.
            Ia tak berbicara sedikit pun. Layaknya aku yang memilih diam jika tak ditanya olehnya. Sesekali aku melirik ke arah Ifat. Raut wajahnya dipenuhi gurat kelelahan akibat kesibukan yang kian memuncak. Tahun ini adalah tahun-tahun tersibuk Ifat sebelum memasuki dunia kerja yang terkenal kejam. Tahun-tahun terakhir yang ia habiskan untuk menyusun skripsi dan ujian akhir. Mungkin itu juga alasannya mengapa ia tak sehangat dulu. Sibuk dengan tumpukan buku yang siap untuk dibaca.
            Aku menghembuskan nafas berat. Mengontrol pikiran yang tak tentu lagi arahnya.
            ”Rinai.” Ucap Ifat datar. Aku menoleh dengan dahi berkerut. Menunggu kelanjutan dari ucapan Ifat yang terasa menggantung bagiku. Pandangannya terus mengarah ke depan. Tak sedikit pun menghiraukan aku yang menunggu ucapan selanjutnya.
            “Wisuda semakin dekat. Aku telah meraih gelar yang sangat diharapkan ayah dulu. Namun sekarang, seperti yang kau ketahui ayah telah tiada. Dan ibu pun semakin renta. Itu berarti semua ini membuatku harus berpikir keras untuk kelanjutan usianya. Kau tahu, kan? Aku pernah berjanji pada ayah bahwa aku akan membahagiakan ibu di sisa-sisa hidupnya dan sekarang aku berusaha untuk memenuhi setiap janji yang kutanamkan di setiap sudut liang lahat ayah.” Kata Ifat dengan suara bergetar. Kusentuh tangan Ifat yang nampak jelas urat-uratnya. Itulah caraku menenangkan hatinya jika sedang kacau. Aku tak berani berkata apa-apa. Kubiarkan ia menyelesaikan setiap kata yang memenuhi ruang otaknya. Kata yang (mungkin) selama ini ia pendam dari siapapun. ”Setelah acara wisuda nanti, aku akan ke Jerman. Aku akan melanjutkan studi di sana. Aku juga ditawari sebuah pekerjaan oleh sahabat ayah yang bermukim di Jerman. Dan itu berarti ruang pertemuan kita akan semakin sempit.” Ucap Ifat dengan wajah tertunduk.
Mobil yang kutumpangi berhenti di tepi pantai yang berombak. Perkataan Ifat terngiang di telinga hingga menembus syaraf otak. Membuat sesak di dalam dada hingga ketakutan akan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini kutepis tiba-tiba bertumpuk dan berlalu lalang dalam kepala. Sebisa mungkin kuatur nafas yang kian berat. Kutengadahkan kepala agar air yang menghiasi pelupuk mata tak tumpah ruah. “Jangan menangis Rinai.” Batinku. Aku tak ingin Ifat tahu jika aku bersedih akan kepergiannya yang menghitung hari.
“Lalu apa yang kau pikirkan? Bukankah itu salah satu jalan untuk membuat ayah bangga dan ibu bahagia di akhir usianya?” ucapku dengan raut wajah yang menipu. Ifat menoleh dengan gurat kesedihan yang nampak jelas. Sekali lagi aku menyunggingkan senyum terpaksa ke arah Ifat lalu memalingkan wajah dengan segera.
“Maafkan aku Rinai. Aku belum bisa menepati janji ayahmu untuk terus menjaga anak perempuannya.” Ujar Ifat lagi sambil menyeka ujung matanya yang berair. Aku tak berani menoleh ke arah Ifat. Aku hanya mengangguk kecil sembari memalingkan wajah ke luar. Kutatap senja yang kini semakin menghilang. 47 detik yang takkan kulupakan. Di bawah rona merah langit sore, pertemuan yang kemudian membuat hari-hariku berubah dari biasanya. “Ifat … “ Batinku.
***
            Dua bulan setelah kejadian di tepi pantai favorit aku dan Ifat, aku mendengar kabar jika ia telah melangsungkan wisuda yang hanya dihadiri oleh ibu dan sanak keluarganya. Tak ada undangan untukku. Tak ada ucapan basa-basi untuk mengajakku ke acara penting itu. Bahkan ibu pun menanyakan perihal wisuda Ifat yang tak dihadiri olehku. Sebagai orang yang mengetahui kedekatan kami sejak kecil, wajar saja bagiku jika ibu berpikiran negatif tentang hubungan kami. Namun aku menepis setiap kekhawatiran yang tersirat di dalam hati ibu.
            “Kami baik-baik saja, bu.” Kataku di suatu pagi saat membantunya menyiapkan sarapan. “Mungkin dia sibuk hingga akhirnya lupa untuk mengajakku ke acara wisuda itu.” Ucapku meyakinkan beliau. Beliau hanya bergumam kecil. Aku mendekap erat tubuhnya dari belakang. Berusaha menepis setiap kekhawatirannya akhir-akhir ini. Ibu membalikkan badan lalu membelai lembut rambutku yang tergerai kusut. Beliau tersenyum. Keriput di ujung mata beliau menandakan jika ia tak lagi semuda dulu. Cobaan hidup yang kami alami saat kepergian ayah membuatnya harus bekerja keras demi memenuhi pendidikanku. Dan saat-saat seperti inilah aku selalu merindukan sosok ayah. Sosok lelaki yang tak henti-hentinya mencurahkan seluruh kasih sayangnya padaku. Lelaki yang tak pernah membiarkan anak perempuannya meneteskan air mata. Aku menarik nafas berat. Kuseka ujung mata yang lagi-lagi mengerti akan rasa yang ada di dalam hati. Kudekap ibu lebih erat. Berharap pelukannya dapat meredakan setiap kegelisahanku akan Ifat. “Ayah, aku merindukanmu. Maafkan Ifat, ayah. Ia tak bisa menepati janjinya” Gumamku dalam hati.
***
            Hujan kembali menyapaku hari ini. Hari di mana Ifat akan segera pergi. Hari di mana Ifat akan menjalani kehidupan barunya di negara orang. Hari di mana Ifat akan menyibukkan diri dengan segala rutinitas di Jerman hingga membuat memori otaknya yang dulu menyimpan ribuan kenangan bersamaku berkurang secara perlahan.
            Jam telah menunjukkan pukul 09:00 pagi. Namun matahari belum juga nampak dari ufuk timur. Sinarnya tertutupi oleh awan mendung. Semendung dan sedingin hatiku saat ini. Semalam Ifat berjanji akan mengunjungiku sebelum ia berangkat ke Jerman. Namun cuaca sepertinya tak mendukung pertemuan kami. “Biarlah … biarlah jika ia ingin pergi tanpa memberitahuku. Toh, aku sudah bisa menerima semua itu dengan lapang dada. Apa bedanya jika ia memberitahuku atau tidak? Pada dasarnya semua sama, kan? Ia tetap akan pergi untuk waktu yang lama. Membiarkanku sendiri dengan perasaan yang tak pernah terungkap sebelumnya.” Ucapku dalam hati. Aku memilih menikmati rinai hujan dari dalam kamar. Merasakan setiap gemericik air yang tumpah menghujam tanah. Menunggu hingga letih kehadiran Ifat menjemputku bersama duka kepergiannya.
            15 menit berlalu. Nada dering teleponku terdengar samar. Aku bergegas meraih telepon genggamku yang terselip di bawah bantal. Sebuah pesan muncul di atas layar. Aku bergegas membukanya. “Ifat … “ ucapku lirih. Itu pesan dari Ifat. Entah apa isi dari pesan tersebut. Ribuan pertanyaan tiba-tiba muncul dalam kepala. Gugup dan rasa khawatir kemudian bercampur menjadi satu. Seketika itu pula, pikiran-pikiran negatif kembali muncul.
            ”Hai Rinai. Apa kau sudah bangun? Hari ini hujan menyapamu lagi, bukan? Sejak tadi ia datang menghampirimu. Apa kau sudah melihatnya? Cuaca pun sedang sangat dingin. Semoga tak sedingin hatimu saat pertama kali kita bertemu di pulau senja. Maafkan aku, Rinai. Jadwal keberangkatanku di majukan lebih awal. Pagi tadi aku buru-buru ke bandara, tak ingin ketinggalan pesawat hingga akhirnya aku lupa jika aku harus menemuimu sebelum pergi. Semoga ini tak membuatmu kesal. Semoga ini tak membuatmu seperti Rinai kecil yang dulunya jika ditinggal pergi, ia akan meronta sejadi-jadinya. Aku pasti kembali untuk menemuimu. Dan saat aku datang lagi, kita akan tetap seperti dulu. Menikmati senja di bibir pantai dengan deru ombak sebagai nyanyiannya. Kau sahabatku, kan? Kau menyayangiku, kan? Itu artinya kau tak boleh marah padaku. Semua ini demi ibu, Rinai. Andai bukan karena beliau, aku tak mungkin meninggalkanmu. Tetap bahagia dan tetaplah menjadi sahabatku. Maaf karena aku tak bisa menemuimu sebelum pergi. Ifat …
            Sekali lagi dia pergi tanpa menemuiku. Untuk kesekian kalinya pula aku hanya dianggap sebagai sahabat oleh Ifat. Sudah kuduga, ia takkan datang. Sudah kuduga, ia akan mengingkari janjinya. Aku menengadahkan wajah, menatap langit-langit kamar yang biru. Mungkin dia memang tak perlu tahu tentang rasa ini. Tentang rasa yang kusimpan rapat sejak 8 tahun silam. Tentang rasa yang tak pernah ia pahami dan tentang rasa yang tak pernah ia miliki seperti aku yang memilikinya.

            “Kau benar, Fat. Selamanya kita akan tetap menjadi sahabat. Selamanya hubungan kita akan seperti ini. Tidak lebih namun takkan berkurang. Mungkin memang hanya aku yang mencintaimu lebih dari sahabat. Mungkin memang hanya aku yang menginginkan hubungan ini tanpa batas. Dan mungkin memang hanya aku yang bodoh. Mencintaimu lebih dari batas wajar. Tak apa, Fat. Harusnya aku memang tak berharap lebih dari hubungan kita. Takkan kubiarkan rasa ini mengusik tidurmu. Takkan kubiarkan kau mengetahuinya sampai kapanpun. Biar hujan, senja dan aku yang tahu. Seberapa sering aku menyebut namamu di hadapan mereka. Biar hujan dan senja yang menjadi saksi tentang hubungan kita yang takkan melebihi apa-apa.” Batinku dengan mata sembap.
0 Comments for "Hujan, Senja dan Kita - Ulva Afdillah Umar - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top