Takdir Keripik Singkong
Nisa Dwi Marselina
Secangkir
kopi buatan istriku menemani saat santai ku sore ini. Riuh terdengar suara
anak-anak bermain di badan jalan. Kebetulan rumahku bertempat di pemukiman
komplek, jalananpun tidak terlalu dilewati kendaraan. Disini lah aku, lelaki
yang sedang menikmati sore hari di teras rumah. Terdengar suara lantang, dari
riuh anak-anak
“Krupuk…
krupuk… lima ribu dapat tiga, krupuk… krupuk…”.
Penjual kerupuk
keliling itu mengingatkan pada masa mudaku. Hanya saja aku tidak menjual kerupuk.
“Nak…
kerupuk Nak…”
“Berapa
pak?”
“Tujuh
ribu saja”
“Dapat
empat ya, Pak!”
“Ini
nak, uangnya!”
“Ini
pak, kembaliannya tiga ribu. Terimakasih ”
“Iya…”
Kuperhatikan
langkahnya yang semakin lama semakin jauh dari pandanganku. Semakin jauh pula
anganku membayangkan masa lalu. Mungkin seusia dia, sekitar SMA kelas 1. Pada
saat itu adalah masa terkelamku. Bapak pergi dipanggil Sang Pemberi Kehidupan.
Meninggalkan Ibu, aku, juga kedua adikku. Hampir aku putus asa dan putus
sekolah. Sebagai anak pertama laki-laki sendirian, rasa tanggung jawabku di
uji. Melihat ibuku sebagai pekerja di rumah industri kerupuk “Bu Hajjah Siti”.
Kebetulan beliau tetanggaku, jadi dibantu perekonomian keluarga dengan
dipekerjakannya Ibuku. Dengan upah Rp.200.000 – Rp.300.000-, perbulan.
Upah itu tidak
akan cukup untuk membiayai sekolahku dan
kedua adikku. Biaya makan pun hanya pas-pasan. Untungnya aku mendapatkan
beasiswa prestasi setiap 3 bulan. Sehingga sekolahku pun tetap berjalan. Namun
beasiswa tidak akan cukup membiayai sekolah kedua adikku yang menginjak SMP dan
SD.
“Bu,
saya ingin bekerja”
“Jangan,
bagaimana dengan sekolahmu”
“Saya
akan bagi waktu. Malam hari waktu untuk bekerja”
“Bagaimana
dengan tugas sekolahmu, Nak? ”
“Akan
saya kerjakan siang hari. Bolehkah Bu”
“Jangan,
biar ibumu saja yang bekerja. Kamu fokus saja dengan masa depanmu!”
“Jika
saya tidak bekerja, bagaimana dengan masa depan saya?”
“Baiklah,
jika itu maumu Nak! Asal tidak membebani dirimu.”
“Terimakasih.
Bu”
Dibawah lampu 5
watt itu, air mataku pun menetes dipelukan ibu. Oh… ibu, badanmu terasa kurus
dipelukanku. Terlalu engkau bekerja keras untuk aku dan adik-adikku. Tak akan
aku mengecewakanmu. Aku berjanji akan itu. Aku akan bekerja mulai besok.
Setelah sholat magrib aku akan ke rumah Bu Hj. Siti. Kepriayian beliau sudah
tersohor di desaku. Orang baik hati ini pasti akan menerimaku.
“Assalamualaikum
Bu Hajjah…”. Ku ketok pintu berkali-kali namun belum ada jawaban.
“Assalamualaikum…Assaa…”.
Belum selesai salam ketigaku, pintu sudah terbuka.
“Waalaikumsalam…
Ada apa ya, Nak?”
“Saya
Abdul Ghani. Anak Ibu Salimah”
“Oh…
anak Ibu Salimah. Ayo sini masuk!”
Aku dipersilahkan
duduk disofa mewah keluarga Hj . Siti . Berbeda sekali dengan kursi di rumahku
yang reyot bila diduduki. Ku lihat sekeliling rumahnya, sangat berbeda. Bahkan
perbedaannya sangat jauh.
“Ada
apa ya, Nak? Kok kamu datang kesini? Ibu Salimah mau izin ndak masuk?”
“Tidak
Bu Hajjah, saya kesini untuk meminta pekerjaan pada Bu Hajjah. Namun saya hanya
bisa bekerja pada malam hari. Bolehkah, Bu?”
Mungkin Bu
Hajjah kaget. Beliau mengambil nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku.
“Sebelumnya
saya boleh tahu, kenapa kamu melakukan ini?”
Kuceritakan
semua keluh kesah selama ditinggal oleh bapakku. Dari mulai Ibuku yang hampir
tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, sampai aku sempat putus sekolah selama
satu bulan.
“Tidak
tega aku mendengar kisahmu, Nak”
“Jadi
saya mohon, agar Bu Hajjah memperjakan saya”
“Saya
tidak akan memperkerjakan kamu. Nanti, terkena kasus memperkerjakan anak dibawah
umur. Tetapi saya akan mengajari kamu membuat keripik. Agar dapat kamu jual.”
“Baiklah
jika itu keputusannya, saya terima, Bu!”
“Sekarang
kamu punya waktu? Mumpung sekarang masih jam 7 malam. Ayo saya ajari!”
“Iya
bu!”
Di ajaknya aku
ke dapur tempat beliau produksi. Di ajarinya aku membuat keripik singkong. Dari
mulai memilih singkong, mengupas, memotong, mengiris, sampai menggorengpun aku
dibimbingnya. Tak satu langkahpun terlewatkan olehku. Berbagai macam variasi
rasa keripik singkong dikenalkan padaku. Dari original, manis, pedas, gurih,
asin. Semuanya beliau ajarkan pada saat itu juga. Cara membuatnya pun cukup
gampang-gampang sulit. Karena harus pas tingkat kematangannya. Dan bumbunya
harus merata.
“Tidak
sulit kan, Nak?”
“Alhamdullillah…
sedikit-sedikit saya bisa”
“Wah…
tidak terasa sudah jam setengah 12 malam. Nanti Ibumu bisa cemas menunggu.”
“Terimakasih
untuk ilmunya, Bu. Ini sangat bermanfaat. Saya tidak tahu dengan cara apa saya
berterima kasih”
“Kamu
cukup berterima kasih dengan menerima ini!”
Di ambilakannya
uang Rp.200.000 dari dompet kecil yang beliau selipkan di saku jubahnya.
“Tidak
Bu, saya sudah merepotkan banyak sekali. Bahkan ilmu yang sudah ibu ajarkan
sudah lebih dari cukup”
“Terimalah…
anggap saja ini upahmu! Saya akan sangat kecewa jika tidak diterima”
“Terimakasih
bu… terimakasih banyak”
Aku pulang
dengan perasaan senang, kagum, dan juga rasa sungkan dengan Bu Hajjah. Apalah
daya, jika aku bisa membalas. Akan ku balas. Namun untuk saat ini biarlah Tuhan
membalas kebaikan Bu Hajjah.
Esoknya setelah
pulang dari sekolah, segera ku tata peralatan membuat keripik. Bahan secukupnya
yang ku beli dari uang pemberian Bu
Hajjah. Segera aku mengolah setengah singkong menjdi keripik. Awalnya gagal
keripiknya terlalu keras, terlalu tebal irisanku. Pada percobaan kedua, aku
mengalami kegagalan lagi, keripikku terlalu matang. Sehingga sedikit pahit
rasanya. Pada percobaan ketiga, rasanya lumayan pas. Agar lebih enak, ku
tambahkan gula halus pada sebagian keripik. Aku ingin memastikan beberapa orang
tentang rasa keripikku.
“Bu…
Rasanya bagaimana?”
“Lumayan
enak, kamu belajar dari siapa?”
“Bu
Hajjah Siti”
“Masyaallah,
baik betul orang itu”
“Bagaimana
kalau keripik-keripik ini aku jual? Nanti hasil dari penjualan setidaknya bisa
meringankan beban Ibuk”
“Kamu
memang pintar, Nak. Seperti Bapakmu”
Air mata ibu
kembali menetes lagi. Entah karena bangga atau karena tidak tega melihatku.
Lalu kubuat lagi keripik untuk besok dijual disekolah. Dengan tambahan
tabunganku dan sisa bahan kemarin aku membuatnya lagi. Kali ini aku dibantu
Ibu. Pasti lebih enak rasanya.
Esoknya dikelas
pada jam istirahat pertama. Aku mulai menjajakan keripikku. Banyak olokan dari
teman, namun tidak kumasukkan kedalam hati. Biarlah mereka mengejek. Mereka
tidak mengert. Dan aku tidak perduli akan itu.
“Hei
Ghani!”
“Ii..
iya”
Dia. Zahwa
Sabila. Anak dari Ibu Hj. Siti . Dia. Siapa yang tidak kenal dia? Gadis cantik,
dengan keanggunan dan kesalehahannya ini membuat semua gadis lain iri. Dan para
lelaki mengaguminya. Termasuk aku. Aku lah pengagumnya. Tapi apalah aku
dibanding dengannya? Ah… sudahlah kejar cita-cita dulu. Baru cinta-cinta.
“Kemarin
lusa, kamu malam-malam kerumahku ya?”
“I…
Iya”
“Maaf
ya, kemarin aku mau nemenin. Tapi keliatannya kamu sibuk sama Umi. Jadi nggak
enak mau ganggu”
“I…
iya”
“Iya
iya terus! Eh… berapa-an keripiknya?”
“I…iya.
Eh… lima ratusan. Mau yang original, asin, pedas, gurih, atau…”
“Manis,
manis aja. Dua ya! Nih uangnya”
“Iya”
“Kenapa
nggak kamu taruh di kopsis atau di warung-warung?”
“Boleh
juga”
“Enak
juga keripik buatanmu, kalah Umi ku!”
“Hehehe”
Atas saran dari
Zahwa aku mencoba menaruh keripik-keripikku di kopsis. Benar memang,
penjualannya lebih cepat habis. Sepulangnya aku dari sekolah, akan kubuat lagi
keripik lebih banyak. Dari keuntungan penjualan hari ini. Akan kujadikan modal
lagi. Agar tambah banyak dan lebih banyak keuntungannya. Kutaruh di
warung-warung terdekat sekita desa ku. Hasilnya pun memang tidak mengecewakan.
Selalu habis.
Keuntungan
selalu kudapatkan. Tidak terasa hasil dari penjualan keripik, ditambah upah
dari pekerjaan ibu, dan beasiswa prestasi dapat membiayai sekolahku sampai
lulus SMA. Bukan hanya aku, adikku yang pertama masuk Madrasah Aliyah dan
adikku yang terakhir masuk Madrasah Tsanawiyah juga terbiayai oleh semua itu.
Namun pada saat
usahaku berkembang. Bahkan memiliki dua pegawai yang menggantungkan hidupnya
disini. Ada pilihan yang diberikan oleh Tuhan. Aku mendapatkan beasiswa
pelatihan penerbangan. Aku bingung, haruskah aku meninggalkan usaha yang
kugemari ini. Usaha yang dimodali oleh Ibu Hj. Siti, dan disarankan oleh Zahwa,
serta didukung oleh Ibu, juga membiayai sekolahku dan adik-adikku. Haruskah?
Haruskah ku tinggalkan?
“Ghani…
bagaimana dengan keputusanmu, Nak?”
“Saya
bingung bu, saya suka berwirausaha. Tetapi saya juga ingin menerima beasiswa
itu”
“Ibu
akan mendukung apapun keputusanmu”
“Aku
akan shalat istikharah dulu. Meyakinkan pilihanku”
“Ibu
akan mendoakan yang terbaik darimu”
Ku ambil air
untuk berwudlu. Segera kulaksanakan shalat istikharah. Dengan ditemani suara
jangkrik dan disinari oleh lampu kamar yang sedikit remang-remang. Tidak terasa
air mataku menetes. Aku bingung Tuhan… beri hamba pilihan terbaik.
***
Suara azdan
Magrib membuyarkan lamunanku. Istri dan anakku sudah memanggil untuk mengimami
shalat mereka.
“Ayah…
sholat!!!” teriak anakku.
“Iya
Zahwa kecil!!! Ini ayah sudah ambil wudlu.”
“Kalau
adek Zidny, Zahwa kecil berarti Bunda Zahwa besar?”
“Hahaha
iya. Pinter kamu, Nak”
Istriku
tercinta dan Ibuku sudah menunggu di tempat shalat.
“Ssst…
Bunda nggak besar kok!”
“Sudah…
ayo sholat Ghani! Ibu mau buat keripik lagi! Banyak orderan!” Ibu menyahut.
“Iya
bu…”
Begitulah takdir
Tuhan. Aku menerima beasiswa itu, dan sekarang menjadi Pilot. Ibuku meneruskan
usahaku yang semakin berkembang. Ibu Hj. Siti menjadi mertuaku, sebagai bonusnya
Zahwa menjadi Istriku. Dan dikaruniai satu malaikat bernama Zidny. Dan
adik-adikku mempunyai cerita hidup masing-masing.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Takdir Keripik Singkong - Nisa Dwi Marselina - Lomba Menulis Cerpen"