-->

AIR MATA PERJUANGAN - Desi Ratna Sari - Lomba Menulis Cerpen

AIR MATA PERJUANGAN
Desi Ratna Sari

Aku baru saja menyelesaikan pendidikan S1 di sebuah perguruan tinggi. Senang bercampur bangga rasanya atas pencapaian luar biasa ini. Aku sangat bersyukur pada Allah atas kesempatan ini. Sebagai anak desa dengan keterbatasan ekonomi akhirnya aku berhasil menjadi seorang sarjana. Tibalah saatnya aku mengabdi, mempraktekkan ilmu yang telah kudapat selama di bangku pendidikan. Teman-teman kuliahku ada yang lansung lanjut kuliah S2, ada yang pindah ke kota lain untuk mencari pekerjaan. Aku sendiri berencana kembali ke kampungku, membangun desa, menjadi pendidik sukarela. Mengajar anak-anak di kampungku, supaya mereka sadar akan pentingnya pendidikan di zaman modern ini.
            Setelah acara wisuda dan semua urusan di kampus selesai aku pulang ke kampungku. Letaknya sangat jauh dari ibukota kabupaten. Akses ke sana masih sulit. Bisa dibilang kampungku ini masuk kategori daerah tertinggal. Ya, tertinggal dalam semua hal. Baik itu pembangunan, pendidikan, dan lain-lain. Penduduk kampungku mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka mengolah lahan pertanian yang ada di kampung dan yang ada di gunung. Kesadaran mereka akan pendidikan masih kurang, kebanyakan anak-anak di kampungku hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP. Setelah itu mereka akan memilih jadi petani. Ada yang atas kemauan sendiri, ada yang karena dipaksa oleh orang tua mereka. Penduduk kampungku menganggap bertani lebih baik dari sekolah. Karena mereka akan mendapatkan uang dari hasil pertanian mereka, sementara di bangku sekolah mereka tidak akan mendapatkan apa-apa.
            Hanya ada beberapa anak yang mau melanjutkan ke SMA dan bangku kuliah. Salah satunya diriku. Namaku Zakiyah Zaitul Mumtaz. Aku biasa dipanggil Zakiyah. Ayahku memberi nama itu dengan harapan aku menjadi anak pintar yang berguna bagi banyak orang. Aku anak semata wayang. Ayah dan ibuku berprofesi sebagai petani sebagaimana penduduk kampung lainnya. Semenjak SMP aku bercita-cita untuk menjadi orang yang membawa perubahan di kampungku. Maka aku pun melanjutkan pendidikan ke SMA yang ada di ibu kota kabupaten, kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi yang ada di ibukota provinsi. Kini tibalah saatnya aku mewujudkan mimpiku dan harapan ayahku, aku harus membangun kampungku. Sebagai anak seorang petani, aku tidak memiliki apa-apa untuk diberikan dalam rangka membangun kampungku, selain ilmu pengetahuan. Selain mengajar di sekolah yang ada di kampung, aku juga mengajar di rumah. Aku menamakan tempat dan kegiatan ini “Rumah Pintar”. Aku mengajar dengan sukarela semua anak-anak yang datang ke rumahku. Mengajar apa saja yang ingin mereka ketahui. Aku memanggilnya dengan sebutan sahabat cilik.
            ****                            ****                            ****                            ***
            Sudah hampir satu bulan kegiatan Rumah Pintar berjalan. Alhamdulillah sudah ada beberapa orang anak yang rutin belajar bersamaku. Aku harus melakukan pendekatan berangsur-angsur kepada penduduk kampung dan anak-anaknya. Bukan hal yang mudah mengubah pola pikir seseorang. Maka aku harus sabar dalam melakukan misiku. Kepada anak-anak yang belajar di rumahku, aku meminta mereka untuk mengajak teman-temannya yang lain untuk ikut belajar. Kepada mereka ku katakan bahwa mereka tidak perlu bayar. Aku meniatkan kegiatanku ini untuk ibadah, dan niatku tulus untuk berbagi ilmu kepada sesama. Aku hanya ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an:”Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnnya”. Aku hanya ingin menjadi seperti itu.
            Memasuki bulan kedua, makin banyak anak-anak yang belajar ke rumahku. Bukanlah hal mudah untuk membujuk mereka mau belajar. Seperti yang telah kukatakan pola pikir masyarakat di kampungku masih belum berubah. Mereka masih menganggap pendidikan itu tidak penting. Maka dengan pendekatan persuasive, aku secara berangsur-angsur mendekati anak-anak kampungku. Dalam hal berbuat kebaikan pasti ada saja ujiannya. Begitu juga kegiatan yang kulakukan ini.
            Suatu siang disaat aku sedang asyik mengajar sahabat cilikku, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak di halaman rumahku. Spontan saja kami melihat keluar. Betapa terkejutnya aku melihat siapa yang datang. Orang itu adalah Pak Amir. Dia adalah ayah dari sahabat cilikku Dio yang saat ini sedang belajar bersamaku. Aku melihat Pak Amir memegang sebuah parang di tangannya. Melihat anaknya ada diantara kami, beliau lansung marah-marah.
“Anak kurang aja mah. Bukannyo manolong urang gaek karajo, malah waang main-main disiko. Ndak ado gunonyo waang ikuik gabuang disiko, ndak kadapek piti waang do. Kini pai ang ka ladang, tolongan ayah jo amak waang basiang ladang gambia”. (Anak kurang ajar. Bukannya menolong orangtua kerja, kau malah bermain-main disini. Tak ada gunanya kau gabung disini, gak akan dapat uang. Sekarang pergilah ke kebun, bantu ayah dan emak mebersihkan kebun gambir)”.
 Aku lihat Dio sangat ketakutan. Dia bersembunyi di belakangku. Dia mengatakan pada ayahnya bahwa dia masih sangat ingin belajar denganku.
“Pak, Dio taragak baraja samo kak Zakiyah. Dio ndak nio pai ka ladang do”.(Pak, Dio ingin belajar sama kak Zakiyah. Dio nggak mau pergi ke kebun).
Mendengar jawaban anaknya Pak Amir semakin emosi. Beliau menarik tangan Dio dengan kasar. Sebelum pulang beliau mengarahkan parangnya ke arahku mengancamku untuk tidak lagi mempengaruhi anak-anaknya. Beliau juga mengatakan apa yang kulakukan ini tidak ada gunanya, aku juga dituduh telah mencuci otak anak-anak kampungku. Sehingga tidak lagi mau melakukan tugas mereka selama ini, mereka lebih memilih belajar bersamaku daripada membantu orangtua mereka di sawah dan di ladang. Yang lebih menyakitkan lagi Pak Amir mengusirku dari kampung dan menyuruhku mengajar di tempat lain saja. Aku tertegun mendengar perkataan Pak Amir. Setelah beliau pergi, aku menghentikan kegiatan belajar dan menyuruh sahabat cilikku pulang. Aku tidak konsentrasi lagi untuk mengajar.
Aku mengunci pintu rumahku dan masuk ke kamar. Aku menangis, sedih sekali rasanya mendengar perkataan pak Amir tadi. Niat baikku ternyata tidak mudah diterima oleh masyarakat.. kenapa mereka masih bepikir dangkal seperti itu. Aku prihatin dengan keadaan penduduk kampungku. Kalau keadaan seperti ini tetap berlanjut, kampung kami akan semakin tertinggal. Saat ini hanya air mata yang mampu menenangkanku.  Ketika ayah dan ibuku pulang aku ceritakan semuanya. Ayah menasehatiku untuk tetap sabar dan terus berjuang.
“Nak, memang tidak semua niat baik kita disambut baik oleh orang. Jangan menyerah, semua perjuangan pasti akan ada hasilnya. Jika kita menanam kebaikan, maka kebaikan jugalah yang akan kita dapatkan. Sabarlah, tetaplah pada niatmu semula. Niatmu baik, pasti Allah bersamamu. Lambat laun mereka akan sadar bahwa apa yang kau lakukan ini benar”. Nasehat ayah ini sangat mendamaikan hatiku. Aku berjanji tidak akan menyerah, aku akan tetap pada niatku semula.
****                            ****                            ****                            ***
Seminggu berlalu semenjak kejadian itu. Aku menjadi buah bibir masyarakat. Rupanya Pak Amir telah menghasud penduduk kampung dengan mengatakan bahwa aku telah mencuci otak anak-anak mereka. Penduduk kampung sepertinya percaya perkataan pak Amir. Mereka melarang anak-anaknya untuk datang belajar ke rumahku. Makin hari-makin berkurang anak-anak yang datang. Hinga akhirnya tak ada satupun yang mau belajar bersamaku. Aku pun mendatangi rumah kepala desa dan pemuka masyarakat, menjelaskan apa sebenarnya yang menjadi tujuanku. Kepada mereka aku juga meminta tolong untuk meyakinkan masyarakat bahwa apa yang kulakukan ini demi kebaikan kampung ini dimasa yang akan datang. Mereka sebenarnya mengerti dan mendukung kegiatanku. Tapi masyarakat awam masih belum bisa menerima ideku. Berkat usaha bersama kepala desa dan pemuka masyarakat, kini kegiatanku hidup kembali. Aku punya 7 sahabat cilik. Mereka adalah anak-anak SD dan SMP. Meski hanya 7 orang aku tetap semangat  mengajar mereka.
Setiap kegiatan belajar, aku akan memberikan cerita-cerita motivasi untuk menambah semangat belajar mereka. Aku ingin menjadikan sahabat cilikku yang 7 orang ini sebagai agen perubahan. Aku pun mengajak sahabat masa kecilku menjadi partner dalam kegiatanku. Namanya Fikri. Dia lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Fikri ku minta untuk mengajar baca Al-Qur’an dan ilmu agama. Bagianku adalah mengajar mata pelajaran umum. Hari demi hari belalu, kegiatan kami masih berjalan. Aku dan Fikri merancang kegiatan yang bervariasi dan menarik supaya sahabat cilikku makin tertarik untuk belajar.  Ujian semesterpun tiba. Aku semakin meningkatkan frekuensi kegiatan di Rumah Pintar. Aku ingin sahabat cilikku menyelesaikan ujian semester dengan baik
Hari penerimaan rapor tiba. Tentu saja aku penasaran dengan hasil belajar sahabat cilikku. Sore harinya sahabat cilikku yang 7 orang itu datang melaporkan hasil belajarnya. Alhamdulillah mereka berhasil menjadi juara kelas di kelas masing-masing. Aku gembira sekali. Perjuanganku sudah mulai menampakkan hasil..
****                            ****                            ****                            ****
Hari ini tepat satu tahun Rumah Pintar berdiri. Sahabat cilikku mulai mengukir prestasi dalam berbagai lomba. Dina yang saat ini kelas 2 SMP menjadi juara di Olimpiade tingkat Kabupaten dan terpilih sebagai wakil kabupaten dalam Olimpiade Sain Nasional. Rahmi menjadi  utusan kecamatan dalam lomba MTQ tingkat Kabupaten. Syifa memenangkan lomba Story Telling dalam Bahasa Inggris.Sementara sahabat cilikku yang masih  SD diutus mengikuti lomba melukis, baca puisi, dan lomba cerdas cermat.
 Nama kampungku mulai harum di tingkat kecamatan dan kabupaten. Bagaimana tidak, beberapa orang siswa berprestasi berasal dari kampungku. Prestasi sahabat cilikku ini telah merubah pandangan masyarakat terhadap pendidikan. Mereka sekarang lebih menghormatiku, sebagian mereka juga telah mendaftarkan anaknya kembali belajar di Rumah Pintar. Aku bersyukur karena Rumah Pintar kembali ramai. Aku meminta sahabat cilikku yang 7 orang menjadi tutor sebaya bagi teman-temannya. Sekarang tugasku dan Fikri adalah mendesain pembelajaran yang lebih menarik, sehingga semakin banyak yang tertarik untuk belajar di Rumah Pintar.
            Pada saat peringatan HUT RI kemaren aku menerima penghargaan dari BUPATI. Aku dinobatkan sebagai pemudi pelopor dibidang pendidikan. Prestasiku dan sahabat cilik membuat kampungku dilirik oleh Pemda. Bantuan untuk kampungku mulai mengalir. Infrastruktur mulai diperbaiki.   Aku sangat terharu dan tidak menyangka akan mendapatkan ini. Niatku membawa perubahan di kampungku sudah tercapai. Airmata kesedihan dulu berganti menjadi air mata bahagia. Kini aku bercita-cita menjadikan kampungku sebagai kampung percontohan bagi kampung lainnya. Aku teringat pada nasehat ayahku dulu: Jika kita menanam kebaikan, maka kebaikan jugalah yang akan kita dapatkan. Kini semua itu terbukti. Jerih payah dan pengorbananku terbayarkan dengan prestasi sahabat cilikku. Mereka telah memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Aku akan tetap mengarahkan mereka, hingga mereka mencapai cita-cita mereka. Mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sehingga mereka tidak lagi mengikuti jejak orang tua mereka sebagai petani. Aku ingin menjadikan kampungku kampung sarjana.

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. ~ (QS. Al-Baqarah : 195)”
0 Comments for "AIR MATA PERJUANGAN - Desi Ratna Sari - Lomba Menulis Cerpen"

Back To Top