CAHAYA
BANG NUR
Indira Isvandiary
Nur
Rohman, ialah lelaki berusia 49 tahun. Bang Nur, begitu ia disapa, tinggal di
sebuah gubuk kecil berdinding tripleks, potongan kayu dan lembaran karung di
tepi jembatan sebuah kali yang menghubungkan jalan besar dengan sebuah perumahan,
bersama istri dan keempat anaknya.
Sekitar kurang lebih 15
tahun lalu, Bang Nur, begitu ia disapa, merupakan seorang Tukang Becak di
perumahan tersebut. Saat itu, becak merupakan moda transportasi yang begitu
diminati di lingkungan perumahan. Bahkan, ibu saya, pada tahun 2001 pernah
menggunakan jasa transportasi ini untuk menuju ke Stasiun Bekasi dari perumahan
yang sama, tempat saya tinggal sampai saat ini.
Bang Nur menjalani
profesi sebagai Tukang Becak sejak tahun 2001. Pada ceritanya, selama ia
menjalani profesi itu, ia mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Tidak hanya mengantar penumpang, ia juga sempat menawarkan
jasa becaknya untuk mengantar anak sekolah.
Namun, menjelang
penghujung akhir tahun 2013, becak lambat laun lenyap peminat. Hingga pada
suatu masa, ia pernah beberapa kali sepi penumpang. Bahkan, dalam penantian
panjangnya, ia pernah mendapatkan satu orang penumpang saja dalam sehari.
Merasa pendapatannya
menurun dari mengayuh becak tuanya, Bang Nur pada akhirnya memutuskan untuk
berhenti dari profesi itu. Ia menjual becak miliknya, itupun dengan harga yang
tidak seberapa besar. Sejak saat itu, Bang Nur melewati beberapa hari yang
panjang untuk berpikir, ‘pekerjaan apa yang sekiranya pantas untuk lelaki tua
lulusan sekolah dasar?’
Bang Nur tidak patah
semangat, apalagi sang istri yang selalu memberikan motivasi padanya untuk
bangkit. Melihat keempat anak mereka yang sudah tumbuh besar, Bang Nur mencoba
melamar beberapa pekerjaan seperti menjaga toko hingga kuli panggul pasar.
Namun, usahanya tidak berhasil.
Bang Nur kembali
termenung, dan ia sempat berpikir apakah mungkin memang tidak ada lagi
kesempatan bagi orang kecil seperti dirinya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Lalu, untuk beberapa saat ia memperhatikan komposisi bangunan rumahnya yang
sebagian besar dibuat oleh tumpukan barang bekas, hasil dari kegiatan mulung
yang dilakukan oleh tetangganya, dan ia membeli barang-barang tersebut.
Renungan malam itu,
membawa Bang Nur menjajaki profesi sebagai Pemulung. Sebuah kegiatan mencari
pundi-pundi uang, dari hasil memungut sampah dan barang bekas yang sudah tidak
terpakai. Bang Nur mulai merakit gerobak sampah miliknya, dari ban bekas dan
material penghubung lainnya seperti kayu dan tripleks. Pekerjaan barunya
dimulai keesokan harinya setelah hampir gerobak miliknya telah selesai dirakit.
Sama seperti mengayuh
becak, menarik gerobak sampah juga membutuhkan tenaga dan kekuatan melawan
terik matahari hingga hujan. Bedanya, menjadi Pemulung membebaskan Bang Nur
untuk tidak mengenakan baju dan alas kaki, hanya celana pendek santai dan topi
bundarnya yang lusuh. Menurutnya, hal itu lebih nyaman ia kenakan. Tidak ada
alasan apapun, selain nyaman.
Profesi ini Bang Nur
geluti hingga kini. Sebagai sampingan, saya sering melihat Bang Nur menanam
sayur kangkung di lahan kosong dekat jembatan yang menghubungkan antara
perumahan tempat tinggal saya dengan jalan besar. Tidak jarang, ketika matahari
tengah terik menyengat hingga menusuk permukaan kulit, Bang Nur masih semangat
memacul tanah hingga menggembur, menyiram sayur kangkung yang ia tanam,
meskipun tubuhnya yang kini sering saya lihat bertelanjang dada sejak ia
menggeluti profesi sebagai Pemulung, begitu mengkilap berwarna hitam keling,
hasil dari keringat dan pantulan terik matahari. Hasil tanam kangkung itu, ia
jual kepada Tukang Sayur di pasar perumahan tersebut.
Selain menanam
kangkung, saya juga sering melihat Bang Nur yang secara sukarela memperbaiki
jembatan penghubung yang sampai saat ini masih terbuat dari kayu yang mudah
rapuh. Apalagi sering dilewati oleh kendaraan motor yang sering membawa bobot
berlebihan. Bagian dari jembatan itu sering patah, berlubang bahkan hingga
permukaannya menipis. Apabila terjadi demikian, Bang Nur dengan inisiatifnya
segera memperbaiki kerusakan pada jembatan tersebut dengan tangannya sendiri,
tanpa mengharapkan imbalan dari orang lain.
Bang Nur, sosok lelaki
pantang menyerah dengan sejuta profesi yang ia miliki. Tubuhnya yang tinggi-kurus,
warna kulitnya yang kini lebih hitam serta gaya berpakaiannya yang sering
bertelanjang dada dengan celana pendek, tidak mengenakan alas kaki dan topi
bundarnya, membuat saya menyadari bahwa, hidup adalah sebuah perjuangan untuk
memperoleh kesuksesan duniawi dan akhirat. Serangkaian pekerjaan yang tengah
digeluti Bang Nur, mebawa ia pada sebuah titik cahaya seperti namanya. Cahaya
yang membawa ia pada rezeki Tuhan berupa pundi uang yang cukup untuk menghidupi
keluarganya, serta cahaya yang datang dari ketulusan dan keikhlasan hati bang
Nur dalam menjaga dan merawat jembatan kayu untuk kepentingan perjalanan orang
lain, di sanalah pahala Tuhan selalu mengalir dalam dirinya.
Ialah Bang Nur, panutan
bagi kaula muda untuk menjadikan sosok dirinya sebagai motivasi agar selalu
semangat dan tidak pantang menyerah dalam menjalani hidup.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "CAHAYA BANG NUR - Indira Isvandiary Lomba Menulis Cerpen"