CUKUP DALAM DIAM
Machlinda Firdaus Damayanti
Namanya
Inda. Dia adalah mahasiswa di salah satu Universitas terkenal di daerahnya. Dia
dikenal sebagai orang yang sabar, rajin, ramah, dan tentu saja smart. Dia
selalu menggunakan jilbab yang panjang, dan itu sebagai ciri kepribadiannya.
Dia aktif dalam kegiatan kampus, seperti menjadi anggota BEM, pramuka, dan juga
dalam UKM BDM (Badan Dakwah Masjid).
Dalam keseharian kuliah dan kepengurusan organisasi, dia selalu
mengaturnya dengan baik dan jarang sekali bahkan tidak pernah berantakan dalam
membagi waktu. Sampai suatu ketika, virus yang dinamakan VMJ pun membuat
dirinya sedikit berbeda.
VMJ
ialah Virus Merah Jambu yang sering dikatakan para muslimah ketika mereka jatuh
hati kepada lawan jenis mereka. Inda mengalami VMJ saat itu. Dia jatuh hati
kepada salah satu ikhwan dari UKM yang sama dengannya. Nama ikhwan itu ialah
Fatih. Nama yang indah dan mengingatkan Inda dengan Muhammad Al-Fatih sang
pemuda berani penakluk kota konstatinopel.
Inda suka sekali membaca cerita perjuangan umat islam terdahulu, dan saat
ini dia ingin tetap melanjutkan perjuangan mereka untuk tetap berpegang teguh
pada agama Allah SWT.
Fatih
adalah lelaki sholeh yang telah membuat hati Inda sedikit beringsut saat
mendengar nama itu. Kalimat istighfar selalu di ucapkannya tatkala hati sedang
mendekati perbuatan zina itu. Tapi bagaimana tidak kagum, Fatih adalah pemuda
taat beragama, smart, murah senyum, dan dia selalu jujur. Inda mulai
mengaguminya dan mengenalnya saat mereka tergabung dalam satu kegiatan besar di
UKM yang sama. Memang keduanya tidak pernah bertemu dan kenal sebelumnya.
Karena dalam UKM yang mereka ikuti, kegiatan dan agenda rutin harian dipisah
antara ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan). Keduanya ditunjuk sebagai
pemeran penting dalam acara tersebut. Fatih sebagai ketua pelaksana dan Inda
sebagai Bendahara.
Mereka sebelumnya tak saling kenal, baru
saat akan rapat pertama itulah mereka bertemu di depan Masjid kampus.
“Assalamu’alaikum, kamu Inda kan?”, tanya Fatih yang saat itu tidak sengaja
berjalan di depan Inda. “Wa’alaikumsalam. Iya aku Inda. Kamu kalau tidak salah
Fatih kan?” jawab Inda dengan sikap ramahnya itu. Saat itulah awal pertemuan
dan perkenalan mereka. Mereka sama-sama mengatupkan kedua tangannya di depan
dada masing-masing seperti minta maaf. Itulah aturan pergaulan dalam syariat
islam sebenarnya.
Mereka mengikuti rapat dan kegiatan
kepengurusan dengan profesional dan tentu tetap menjaga jarak antara laki-laki
dan perempuan sesuai syariat islam. Rapat dan komunikasi yang terlalu sering
inilah yang membuat VMJ mulai menggerogoti hati mereka. Tapi mereka sigap dan
tetap menjaga. Seperti tak ingin siapapun mengetahui apa yang dialami hati
mereka sekarang, tapi memang itulah arti cinta sebenarnya. Tak perlu diumbar
dan dideklarasikan ke khalayak selagi masih belum halal. Itu lah yang mereka
lakukan saat itu.
Setelah semua acara UKM selesai, Inda
lega. Karena pertemuan atau komunikasi langsung dengan Fatih tidak terlalu
intensif lagi. Dia kembali ke kos dengan perasaan sedikit resah dan tidak
terkontrol. Dia mengambil air wudhu dan menunaikan sholat. Dia utarakan semua
yang ada dalam hatinya saat itu kepada Allah, karena Inda yakin Dia-lah Sang
Maha Mengetahui semua apa yang dirasakan hambaNya. Termasuk tentang Fatih. Inda
berharap perasaan itu akan hilang sendirinya dan terganti dengan berbagai tugas
kuliah yang sudah menanti di atas meja belajarnya itu. Dia cuma bisa mengelus
dada dan istighfar.
Hari berganti dengan cepatnya,
beriringan dengan tugas kuliah yang terus berdatangan silih berganti. Semua
dilakukannya dengan ikhlas dan semangat yang berkobar. Karena saat ini
prioritasnya adalah menyelesaikan kuliah dengan proses dan hasil yang maksimal.
Secara tidak sadar, Inda mengabaikan perasaannya kepada Fatih dan VMJ nya pun bisa
diatasi olehnya. Begitupun dengan Fatih yang disibukkan oleh tugas kuliah dan
kegiatan UKM yang lebih padat, yang secara tidak sadar pula menepis sebentar
perasaannya kepada gadis ramah yang bernama Inda itu.
Hari itu hujan lebat mulai mengguyur
kota yang padat penduduk itu. Inda berlari kecil ke teras Masjid untuk berteduh
dan segera melepas sepatunya. Dia pun mencari tempat duduk di teras Masjid yang
tidak basah. Dari kejauhan nampak seorang lelaki yang menggunakan kemeja biru,
celana kain hitam diatas mata kaki, sepatu sandal, dan kopyah ditangannya.
Lelaki itu sedang berlari agak cepat ke teras Masjid pula. Wajahnya mulai
terlihat jelas saat sampai di teras Masjid. “Fatih”, ucap Inda dalam hati saat
melihat sosok lelaki yang hampir basah kuyup itu. Fatih terlihat agak malu saat
mengetahui Inda ada disana. “Assalamu’alaikum Inda. Maaf aku tadi berlarian,
hehe. Sekarang basah kuyup jadinya”, sapa Fatih kepada Inda dengan sedikit
basa-basi. “Wa’alaikumsalam. Iya gapapa. Aku tadi hanya tertegun kaget saja
saat tiba-tiba kamu muncul dari kerumunan hujan yang lebat ini. Hehe”, kata Inda
dengan menyisipkan gurauan kecil dalam percakapan mereka. “Hujan itu berkah
dari Allah untuk manusia di muka bumi ini. Semoga Allah memberkahi hambaNya
yang sedang berteduh ini. Hehe”, timpal Fatih dengan menatap ke langit yang
masih saja terlihat gelap. “Aamiin, ya Allah. Aamiin.”, jawab Inda lirih.
Hujan tak kunjung reda. Fatih memutuskan
untuk melepas sepatunya dan masuk ke Masjid. Dalam hati Fatih dia seperti
berontak, “Kenapa aku tidak tanya bagaimana kabarnya ya? Semoga kabarmu baik
dan sehat wal’afiat. Aamiin”. Fatih segera istighfar menyadari apa yang
dipikirkannya. Dia langsung mengambil air wudhu dan membaca Al-Qur’an di dalam
Masjid kampus.
Disaat yang sama di teras Masjid, Inda
merasakan kegundahan dalam hatinya. Dia masih bertanya-tanya dalam hati, “Ya
Allah kenapa aku bertemu Fatih lagi? Ya Allah jika memang ini bagian dari
rencanaMu, mudahkan kami Ya Allah melalui semuanya dengan tetap berpegang teguh
pada agamaMu Ya Rabb”. Dia tetap istighfar dan melantunkan lirih kalimat tasbih
yang selalu membuat hatinya yang gundah menjadi tenang.
Saat hujan sudah reda, Inda meninggalkan
Masjid dan menuju ke perpustakaan kampus untuk meminjam buku sebagai bahan
tugas mata kuliah nya. Perpustakaan adalah tempat favorit bagi Inda. Karena
disana ada ketenangan yang membuat pikiran menjadi fokus dan rileks. Dia menuju
ke lantai 2, karena buku yang akan dipinjamnya ada disana. Dia juga menemui
temannya yang sedari tadi menunggunya untuk mengerjakan tugas kuliah bersama.
Setelah tugas selesai, Inda dan temannya memutuskan untuk segera pulang ke kos.
Pergantian bulan dan tahun sedikit demi
sedikit menandai pergantian semester pada mahasiswa. Inda yang sebelumnya
semester 4, tidak terasa perlahan memasuki semester 7 dalam perkuliahannya. Dia
semakin sibuk dengan tugas PPL nya yang harus terjun langsung ke lapangan
sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat maupun lingkungannya. Semenjak semester
5 dia sudah tidak aktif dari dunia UKM dan kepengurusan organisasi mahasiswa.
Dia fokus dengan skripsi. Begitu juga yang dialami oleh Fatih. Sudah 1 tahun
lamanya mereka tidak pernah bertemu ataupun tegur sapa antara satu dengan yang
lainnya. Fatih dan Inda juga sudah tidak pernah berkomunikasi melalui ponsel,
hanya terakhir kalinya saat kegiatan besar UKM mereka di semester 3 dulu. Bukan
mereka tidak mempunyai nomor telepon masing-masing. Hanya saja mereka tidak
ingin mengganggu perasaan suci nan khidmat ini sampai Allah benar-benar
menunjukkan sebenarnya. Mereka pun tidak pernah mengakui dan mengutarakan
perasaan mereka masing-masing. Karena mereka percaya, cinta dalam diam itu
lebih baik.
Para mahasiswa semester akhir telah
mengikuti sidang skripsi dan hasilnya pun sangat memuaskan. Inda mendapatkan
hasil sangat memuaskan dengan nilai IP 3,95. IP yang cukup tinggi untuk mahasiswa
se-angkatan nya. Fatih sendiri mendapatkan IP 3,90. Meskipun tidak setinggi
Inda, dia tetap bersyukur akan hasilnya tersebut.
Setelah mengikuti wisuda, mahasiswa
dinyatakan sebagai lulusan yang siap kerja dan/atau mengabdi kepada masyarakat
dan lingkungannya. Inda meneruskan mengajar di sekolah sesuai bidangnya. Dan
Fatih diterima kerja di pertambangan minyak milik negara. Setelah 2 tahun
bekerja dengan hasil yang maksimal, Fatih di pindah tugaskan ke luar jawa untuk
pemerataan pembangunan dan pertambangan. Dia ditunjuk sebagai pengawas proses
kerja. Gaji yang dia peroleh memang banyak, tapi dia bukanlah orang yang pelit
dan boros. Dia selalu bersedekah kepada orang yang kurag mampu di sekeliling
nya, dan juga selalu menabung untuk keperluan lainnya terutama menikah. Sesuai
permintaan ibunya, saat Fatih kembali ke jawa, dia akan dikenalkan dengan
perempuan pilihan ibunya.
Setelah 2 tahun mengabdi di sekolah,
Inda diterima menjadi PNS setelah mengikuti rangkaian tes. Beberapa bulan
kemudian, ada sahabat semasa SMA nya dulu datang berkunjung ke rumah Inda.
Namanya Fatimah. Dia bercerita banyak kepada Inda, termasuk rencana
pernikahannya dengan salah satu ikhwan bernama Arif. Undangan pernikahan Fatimah
dan si calonnya itu pun sudah disebar, karena tinggal menghitung hari saja.
Fatimah bertanya lugu pada Inda, “Kapan nyusul Nda? Ayo lah di tunggu
undangannya. Kabari ya kalau mau akad. Hehe”. Inda hanya tersenyum dan berkata
lembut dalam hati, “Kalau jodohnya datang dan saatnya tiba, ane nyusul mbak”.
Diwaktu yang bersamaan, Fatih sedang
dalam perjalanan menaiki pesawat untuk pulang ke jawa karena tugasnya sudah
selesai. Dalam pikiran dan hatinya tidak sinkron saat itu. Dia masih resah
dengan perkataan ibunya yang akan dikenalkan dengan pilihan ibunya. Di sisi
lain dia ingin mengkhitbah seseorang yang selama ini dinantinya, hanya waktu
saja saat itu belum tepat. Saat sampai di rumah, Fatih mencoba menjelaskan
kepada ibunya tentang apa yang dialaminya saat itu. Akhirnya, ibu Fatih
menyerahkan keputusan kepada Fatih.
Prinsip Fatih memang dia tidak mau
pacaran. Tetapi dia ingin Ta’aruf. Fatih mempunyai teman seperjuangan yang akan
menikah. Namanya Arif. Arif sudah berjanji akan membantu Fatih dalam Ta’aruf
ini. Dua minggu setelah akad nikah, Arif dan istrinya yang bernama Fatimah
membantu Fatih dalam misi ini. Fatimah mengatakan kepada Arif bahwa dia punya
sahabat perempuan yang bernama Inda yang belum menikah. Fatimah pun menemui
Inda untuk menawarkan dia untuk berta’aruf dengan seseorang. Inda pun mau, “Apa
salahnya mencoba?”, ujarnya. Fatih dan Inda sama-sama menuliskan CV, visi misi
hidup, prinsip dan semua tentang diri masing-masing tanpa ada yang ditutupi.
Tapi satu sama lain tidak tahu siapa yang akan menjadi partner dalam ta’aruf
mereka ini.
Data dari masing-masing pihak
dikumpulkan dengan perantara yang berbeda. Lalu ditukar ke pihak lawan. Inda
dan Fatih kaget saat CV dan data yang mereka terima bertuliskan nama orang yang
tidak asing bagi mereka. Saat mereka perlahan membaca riwayat pendidikan dan
bertuliskan Universitas yang mereka sangat kenal, terasa semuanya seperti
mimpi. Tapi mereka masih terjaga dengan CV di tangan mereka masing-masing dan
terlontar secara bersamaan dengan waktu dan tempat yang berbeda,
“Alhamdulillaaaah. . . Apa ini rencana Mu Ya Allah?”.
Sholat istikhoroh tetap dijalani
keduanya sebelum merespon CV tersebut yang hanya diberi waktu satu minggu itu.
Fatih dan Inda menerima CV tersebut dan mereka bersedia untuk bertemu, dan
tetap dengan perantara Fatimah dan Arif. Kegiatan tanya jawab antara kedua
belah pihak terjadi dan dengan perantara Fatimah dan Arif juga. Setelah dua
bulan komunikasi dan mencoba lebih memantabkan hati lagi, Fatih memutuskan
untuk menemui kedua orang tua Inda untuk silaturahmi dan jika ibu Fatih sudah
merestui, Fatih akan mengkhitbah Inda.
Setelah sholat jum’at, Fatih dan ibunya
pergi ke rumah Inda untuk silaturahmi. Saat Fatih mengetuk pintu dan mengucap
salam, ayah Inda keluar dan menjawab salam tersebut. Fatih mengungkapkan
keperluannya saat itu, dan saat Inda keluar dari dapur membawa beberapa cangkir
teh dan biskuit, “Loh. Mbak Inda disini toh rumahnya. Fatih, kamu tahu siapa
yang akan ibu kenalkan dengan kamu yang ibu maksud waktu itu? Ya mbak Inda ini
le. Dia perempuan baik hati yang waktu itu menolong ibu saat hujan lebat, ibu
terjebak di bawah pohon pinggir jalan dan tidak bisa ke masjid. Dia le
orangnya” ujar ibu Fatih dengan raut muka bangga. “Kalau sama Mbak Inda ini ibu
restui le, ibu tau mbak ini bagaimana. Hehe” tambah ibu Fatih. “Alhamdulillaaaah
. . .”, seketika itu terlontar dari mulut Fatih dan Inda dengan raut lega dan
bahagia. Penantian mereka yang tidak ternodai dengan zina itu, berakhir dengan
skenario Allah yang menakjubkan dan sangat indah. Penantian dalam diam, suci,
dan sakral.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "CUKUP DALAM DIAM - Machlinda Firdaus Damayanti - Lomba Menulis Cerpen"