Tanah Abang Station
Ibnu
Feriawan Herlambang
Kota yang termasuk kota tertua dan bersejarah di
Indonesia ini, memang memiliki banyak cerita, mulai dari hiburannya hingga ke
pelosok Jakarta itu sendiri. Siapa sih yang enggak kenal kota Jakarta? Hampir
semua masyarakat Indonesia pasti mengenal kota Jakarta. Disinilah awal cinta
pertamaku dimulai di pelataran peron Stasiun Tanah Abang, aku tak sengaja
menabrak seorang cewek kuliahan, kemudian saling kenal hingga pacaran. Tapi aku
tidak menemui pacarku itu karena sudah putus melainkan ingin bertemu temanku di
Jakarta.
Ya hari
ini aku berangkat ke Jakarta karena aku sendiri sudah tidak sabar untuk bertemu
teman lamaku di sana, jadi aku berangkat menuju Jakarta menggunakan Kereta Rel
Listrik-biasa orang menyebutnya KRL-dari Stasiun Serpong. Dengan berpakaian
rapih layaknya orang kuliahan padahal aku sendiri sudah kerja sebagai pegawai
swasta. Aku menyempatkan chatting
dengan temanku-Raditya.
“Dit,
gue otewe nih.” kataku duluan di
layar BBM.
“Oke,
hmmm gue nungguin lo di KFC Stasiun Jakarta Kota nih.” balasnya.
“Waiting for me.”
KRL
masuk jalur 2 dan aku segera naik.
**
KRL yang
aku naiki ini berhenti sebelum memasuki Stasiun Tanah Abang, menurut
kondekturnya karena terjadi antrian hingga KRL harus menunggu giliran masuk.
Suasana di dalam KRL sangat ramai, kebanyakan anak remaja yang mau liburan ke
tempat wisata seperti Taman Fatahillah atau Kota Tua Jakarta, Ancol, Monas, dan
lain-lain.
Tak lama
KRL masuk Stasiun Tanah Abang, ya aku harus transit dan melanjutkan Kereta
menuju Stasiun Kampung Bandan hingga ke Jakarta Kota. Aku menunggu di peron 2,
aku melihat suasana Stasiun cukup ramai oleh ibu-ibu yang sehabis belanja di
pasar Tanah Abang.
Aku
melihat anak kecil berlari kesana kemari gak tau arah, hingga dia kembali ke
ibunya seperti orang bingung.
“Kenapa
kamu bolak-balik terus nak?” tanya ibu itu ke anaknya sambi jongkok kemudian
menyeka keringatnya.
“Aku
lagi nyari tempat sampah tapi aku tidak menemukannya, bu.” jawab anak itu
dengan polosnya.
Tiba-tiba
jiwa sosialku muncul dan mendekati anak itu.
“Sini,
kakak bawain bungkusan permen kamu, biar kakak aja yang buang kebetulan kakak
juga lagi nyari tempat sampah.” kataku sambil mengambil sampah permen itu di
tangan anak kecil tadi.
“Bilang
apa sama kakaknya?” tanya ibu itu ke anaknya yang nampak malu.
“Terima
kasih kakak.” Dan kemudian anak itu bersembunyi di belakang ibunya.
“Terima
kasih ya, nak.” kata ibu itu dan aku hanya tersenyum. “Nama kamu siapa?”
“Nama
saya Cakra Wijaya.” jawabku halus.
“Mau
kemana nak?” tanya ibu itu lagi.
“Kebetulan
saya mau ke Jakarta Kota, ibu sendiri mau kemana?”
“Saya
mau ke Tangerang.”
Aku
terus berbincang-bincang hingga masuk ke KRL menuju Jakarta Kota. Tetapi karena
beda tujuan, aku berpisah dengan ibu itu di Stasiun Duri, tapi aku masih ingat
dengan kepolosan anaknya itu.
**
Setibanya
di Stasiun Jakarta Kota, aku segera menelepon Radit yang sudah lama menungguku.
“Hallo,
Dit.” kataku duluan.
“Lo
dimana sih, lama bener.” Dari nadanya saja, Radit sudah rada kesal.
“Tadi
keretanya lama di Tanah Abang, tapi lo dimana nih.”
“Di
KFC.”
Aku
menutup telepon dan langsung menuju KFC yang berada dekat pintu keluar. Aku
memasuki restoran KFC, nampak Raditya sudah duduk dengan makanannya yag ada di
meja. Aku mendekati Radit tetapi tak sengaja menabrak cewek cantik dari arah
berlawanan, buku yang ia bawa terjatuh dan segera aku mengambilnya.
“Ini
buku kamu, maaf tadi aku buru-buru.” jelasku agar tidak terjadi salah paham.
“Gak
apa-apa, ini juga salah aku yang gak lihat ke depan.”
Aku
langsung mengarahkan tanganku ke hadapannya. “Namaku Cakra, siapa nama kamu?”
tanyaku sambil tersenyum.
Cewek
ini agak pemalu tapi kemudian dia mengerahkan tangannya agar berjabat tangan.
“Namaku Fatiya, maaf saya buru-buru.”
Sangat
disayangkan, cewek tadi yang bernama Fatiya langsung pergi menuju lobby Utara
Stasiun Jakarta Kota mengarah Kota Tua Jakarta, aku hanya diam dan sesekali
tersenyum sendiri. Ya namanya juga baru kenalan, tapi kenapa hatiku berdegup
agak kencang ketika tadi berkenalan dengannya, apa ini yang dinamakan cinta? Ah
gak mungkin, lupakan sejenak.
**
“Kok lo
bisa kenalan sama cewek itu?” tanya Radit dengan heran.
“Awalnya
gue gak sengaja nabrak dia di depan KFC tadi,” ucapku perlahan. “tapi kenapa
gue mikirin dia ya?”
“Namanya
juga jatuh cinta, bro.”
“Apa sih
lo, gue gak jatuh cinta tetapi cuman....”
“Cuman
lo yang berani deketin dia.”
“Sial
kau.”
Aku sama
Radit berjalan mengarah ke Museum Keramik di komplek Taman Fatahillah atau Kota
Tua Jakarta. Aku hanya sekedar melihat tempat kerja temanku ini sebagai pemandu
wisata, sesekali aku juga ikut menjadi wisatawan agar aku bisa mendapatkan info
bagaimana keramik di Indonesia dimulai atau cara pembuatan dan bahannya.
“Mamah,
itu namanya apa?” tanya anak kecil ke Ibunya yang berada di sebelahku.
“Itu namanya
keramik, nak.” jawab ibu itu dengan perlahan.
“Aku
pengen bikin keramik, Mah.” lanjut anak itu.
“Untuk
apa sayang?” tanya ibu itu lagi tetapi dengan rasa kaget.
“Aku mau
bikin agar keramik Indonesia bisa mendunia dengan tangan kecilku ini, Mah,” kata
anak itu sambil mengambil melihat tangan kecilnya.
Sungguh
pedulinya anak itu, rasa nasionalisme atau patriotisme sebagai anak muda atau
masih belia masih peduli terhadap negaranya: Indonesia. Walaupun dia masih anak
kecil, entah kenapa aku merasa kalah denganya. Aku yang sudah dewasa seperti
ini tidak mempedulikan negaraku sendiri, meskipun belum terlambat tapi aku akan
usahakan bisa mencintai negaraku ini: Indonesia Raya.
**
Hari
menjelang sore, aku memutuskan untuk segera pulang ke Serpong karena besok
mulai kerja kembali. Aku juga berterima kasih dengan Radit karena aku bisa
mengunjungi museum keramik di Jakarta, kemudian aku bisa mengenal keramik
Indonesia yang sudah dilupakan oleh anak remaja. Radit juga cukup senang karena
aku sebagai teman lamanya bisa berjumpa kembali, di waktu yang akan datang
pasti aku akan berkunjung kembali ke kota Jakarta.
Suasana
di stasiun Jakarta Kota cukup padat karena berakhirnya masa weekend, dimulai dari anak remaja bahkan
orang tua segera kembali ke rumahnya masing-masing untuk hari esok.
Aku
langsung membeli tiket KRL di mesin E-Ticketing di main hall stasiun. Jariku
cukup lincah memilih stasiun karena aku sudah terbiasa menggunakannya, kemudian
aku memasukkan selembar uang lima ribu rupiah ke mesin. Dan aku menuju ke peron
2 yang sudah diisi KRL ke Kampung Bandan.
**
Ketika
aku menunggu kereta di peron 5 stasiun Tanah Abang, aku bertemu kembali dengan
cewek tadi yang sebelumnya bertemu di KFC stasiun Jakarta Kota. Aku langsung
menghampiri cewek itu.
“Hai, mau
kemana?” tanyaku sambil tersenyum.
“Mau ke
Serpong.” balasnya.
“Kita
satu tujuan ya ternyata,” hatiku tetap berdegup kencang walaupun sudah
mengenalnya. “nanti kita ngobrol di dalam kereta saja ya, disini ramai.”
Cewek
itu hanya tersenyum, tetapi tangannya memegang tanganku. Ya aku tahu dia
memegang tanganku, aku pastikan bersikap biasa saja hingga kereta yang kami
naiki datang.
**
Aku
duduk di sebelah dia sambil mengobrol hal biasa saja. Cewek yang aku pikirin
dari tadi siang itu bernama lengkap: Fatiya Nur Fauziah. Dia masih kuliah di
salah satu universitas paling bergengsi di Jakarta Selatan, walaupun aku beda 5
tahun dengannya, tetapi rasa cintaku memang cukup besar untuk dia.
Tak lama
kemudian tiba juga di stasiun Serpong, aku turun dengan Fatiya sambil
berpegangan tangan-katanya biar gak ketinggalan denganku. Oke, aku jangan
terlalu baper dengan ini, keep calm
saja.
“Aku
duluan ya Fatiya,” kataku sebelum berpisah dengannya.
“Tunggu,”
katanya sambil menahanku. “ini nomer hpku sama pin BBM, nanti aku tunggu kamu.”
“Sip,
bye.”
“Bye.”
Aku
berpisah dengan Fatiya di Stasiun Serpong, aku melihat dia naik ojek sebelum
menghilang ditelan keramaian jalan raya. Aku juga pulang jalan kaki karena
jaraknya dekat sekali dengan kontrakanku. Aku terus memikirkan dia hingga aku
sampai di kontrakan, sampai-sampai sebelum aku tidur pun tidak luput memikirkan
dia walaupun aku sudah sms-an atau BBM-an dengannya. “Good Night, walaupun aku disini dan kau disana, tetapi cintaku besar
untukmu.” kata hatiku yang paling dalam.
Tag :
Lomba Menulis Cerpen
0 Comments for "Tanah Abang Station - Ibnu Feriawan Herlambang"