-->

Jodoh Tak Bisa Dibarter - Pihantini - Lomba Menulis Cerpen

Jodoh Tak Bisa Dibarter
Oleh: Pihantini

Siang itu, kala terik matahari menyengat tubuh, kubaringkan tubuh diranjang usangku. Cuplikan sinar yang menerawang lewat celah – celah genting atas kamar, seolah pun ikut mencibir betapa bodohnya aku. Angin semilir perlahan membuat kulitku seolah terbelai lembut olehnya. Namun, ah… itu hanyalah bayangan belaka. Tanpa sadar bibirku komat – kamit mengucapkan bait lagu yang tak begitu kuhafal dengan lincah. Lagu yang seolah tepat menggambarkan situasi kekacauanku saat ini.
Tiga tahun telah berlalu. Waktu yang kurasa tidak singkat, menyimpan berbagai kenangan yang membekas baik duka pun juga luka. Canda tawa selalu bersama dan tak pernah terlewatkan sedetikpun rasa bahagia. Aku tahu Dek, sangat – sangat tahu bagaimana kondisimu dan lemahnya keadaanmu. Aku tahu itu. Tetapi mengapa Kau sama sekali tak menghargaiku. Pupus sudah harapanku, sirna peluangku hidup bersamamu Dek. Salahkah jika aku datang bermaksud menjemputmu hanya dengan segenap cintaku, salahkah itu?
Ini kisahku. Menjalani hubungan selama tiga tahun itu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Setiap pagi, sore siang hingga malampun, kujaga hatiku demi sosoknya. Kukirimkan doa-doa terindahku untuk tidur cantiknya. Aku merasa bahagia, bahkan jauh lebih bahagia dari setiap orang kira. Seolah hati bertabur penuh bunga setiap hari dan tak henti berdesir gembira. Karena satu, kehadirannya. Namanya Dina. Hingga kini nama itu masih melekat penuh di hatiku.
Aku dan Dina memang tidak berada dalam satu daerah, yang mana sangat tidak memungkinkan bagi kami untuk bertemu setiap hari. Tempat tinggal kami terbatas satu provinsi. Teringat pertemuan pertamaku dengannya, di stasiun kereta api Tugu Jogja, kala kami sama – sama mengikuti tour dengan rombongan kami masing- masing. Selama ini aku mengira benar adanya pilihanku kepadanya, namun ternyata hal itu meleset terlalu jauh. Aku tak bisa menjaganya. Aku tak bisa mencari tahu banyak hal tentangnya. Hingga dua bulan yang lalu aku mengetahui sesuatu tentangnya yang sangat tidak ingin aku ketahui. Dia divonis kanker otak.
Tubuhku lemas mendengar kabar itu dari teman dekatnya. Namun beberapa kali kutanyakan, tak pernah ada jawaban pasti yang mengarah ke kebenaran. Semakin hari badannya semakin rapuh dan lemah. Kanker telah menggerogoti seluruh tubuhnya. Hingga suatu ketika, aku memutuskan ingin merengkuhnya sampai akhir hayatku. Ingin menjadi tulang penyangganya dan sebisa mungkin membatnya untuk kuat kembali. Kuberanikan diri melaju jauh menuju daerah dimana ia tinggal. Dengan segenap keberanian dan penuh percaya diri, aku mengendarai motor bututku menyusuri jalan menuju rumahnya. Tiga perempat hari kuhabiskan waktuku diperjalanan, hingga esoknya tiba di tempat ia tinggal. Tanpa pikir panjang, kumantapkan hati untuk memasuki rumahnya dan sekaligus bertemu dengan kedua orangtuanya untuk mengutarakan maksud dan tujuanku jauh – jauh dating menemui  mereka.
Pertama kali pintu dibuka, aku sangat senang. Wajah sisa – sisa rasa capekku hilang seketika dan berubah ceria manakala melihat rona wajahnya, walau sedikit pucat. Lantas aku dipersilakan masuk. Namun ada yang beda, sorot mata dan tatapannya ke arahku sangat berbeda dari terakhir kami bertemu. Pandangannya seolah menghindari kontak mataku. Aku mulai canggung untuk duduk, namun tekad dan kemauan membawaku tetap tegar dan tenang, meskipun ada sedikit rasa gelisah di dadaku.
Tak lama, kedua orangtuanya datang menemuiku. Menyambut dengan sangat riang, dan mempersilakan aku meminum teh hangat buatan anak semata wayangnya. Setelah aku meminum beberapa cegukan, terdengar suara ketukan dari arah luar, sepertinya ada tamu lain. Ibu Dina lantas bergegas kearah pintu dan membukakan pintu untuk tamu.
“Assalamualaikum, Bu.. Bagaimana keadaan Dina sekarang Bu?” sapa seorang lelaki dari balik pintu yang menanyakan kondisi Dina. Mendadak dadaku semakin berfirasat tidak baik, namun firasat itu kuusahakan jauh – jauh dari benakku. Mungkin dokter Dina, pikirku untuk menenangkan hati.
“Waalaikum Salam Nak Rudi.. Ada didalam itu, sedang duduk. Sok atuh, masuk sini Nak..” Balas Ibu Dina dengan ramahnya. Dan benar, seorang lelaki tersebut berpakaian layaknya dokter biasanya. Hatiku sudah merasa sedikit tenang.
Namun, saat aku hendak mengutarakan tujuanku datang, tiba – tiba dadaku seolah tertusuk ribuan pacahan kaca secara tiba – tiba manakala melihat seseorang yang bernama Rudi mencium kening Dina. Dan disinilah puncak penyesalanku. Rudi adalah calon suami Dina yang sudah sekitar dua minggu lalu bertunangan. Dan minggu depan acara pernikahannya akan berlangsung. Hatiku mendadak perih mendengar penjelasan tersebut dari kedua orangtua Dina, sementara sosoknya masih diam terpaku, menundukkan kepalanya tanpa berani menatap wajahku barang sedetikpun. Kala itu, dunia seolah tidak adil untukku.
Setelah mengetahui semua kenyataan pahit itu, aku memutuskan untuk pamit pulang. Kedatanganku ternyata hanya membuat luka yang semakin menganga. Mungkin inilah alas \an mengapa selama tiga minggu terakhir Dina menghindar saat dan serasa tak mau menghubungiku lagi. Kini aku sudah tahu jawaban serta kepastiannya. Tanpa berlama – lama, kutancapkan gas untuk melaju meninggalkan tempat yang berduri itu. Perlahan – lahan, mataku perih dan air mengalir menganak sungai mebahasi pipi. Tak terasa aku meangis dibuatnya.
Ditengah – tengah perjalanan, ponselku berdering. Kuhentikan motorku sejenak untuk mengangkat telfon dari seseorang. Kakekku rupanya. Ia menyuruhku untuk mampir sejenak kerumahnya. Lantas kubalikkan arah motor dan melaju dengan kencangnya menuju rumah kakek. Tiba – tiba, tanpa sadar disampingku berjalan sebuah truk yang tak kalah kencangnya dengan kecepatan motorku. Aku tersenggol dan lantas perpelanting sekitar 5 meter dari jalan. Dan aku tak sadarkan diri.
***
Kala itu, kubuka mataku secara perlahan. Ruangan yang berbeda dari biasanya. Ruangan penuh dengan bau alcoholic dan obat-obatan.
“Mas, sudah sadar..?” tegur seseorang dari samping. Aku terperangah. Disamping tempat aku berbaring, seorang wanita tengah duduk menatap kearahku penuh dengan kekhawatiran. Aku terpojok. Masih sedikit kaku karena sakit dan sedikit grogi.
“Mbak siapa?” spontan aku bertanya tanpa menghiraukan pertnyaannya.
“Mas, bagaimana keadaannya? Maaf tadi gara - gara bapak saya, mas nya jadi jatuh. Maaf” ucapnya lirih dengan nada penuh permohonan.
“Saya tidak apa – apa mbak, terimakasih sudah menolong,” pintaku sembari ingin beranjak dari ranjang.
“Eeh..eeh, mas nya mau kemana.. sebelum pulih, kata dokter, mas perlu dirawat disini.. sampai mas pulih kembali,” pinta wanita iu.
“Daerah saya bukan disini mbak, jadi saya harus pulang, saya sudah tidak apa – apa,”
“Yasudah kalau begitu, biar saya panggilkan dokter dulu,” pinta wanita itu.
Tak lama, dokterpun datang. Aku diberi beberapa resep obat serta perawatan yang harus kudapatkan saat aku dirumah nanti. Setelah semua terurus selesai, aku baru tersadar, perlu membayar biaya pengobatanku. Namun saat aku hendak membayar, ternyata kuitansi pembayaran sudah lunas. Aku terperangah. Dari kuitansi yang kudapat, tertanda atas nama Annisa W. Mungkinkah itu wanita yang menolongku tadi, pikirku.
Aku mencari-cari disekitar rumah sakit tersebut, memutari seluruh penjuru dari timur hingga barat, namun tak kudapatkan sosok yang kucari. Akhirnya aku memutuskan untuk beranjak pulang menuju tempat parkir, namun pada saat itu aku bertemu dengan wanita yang menolongku serta melunasi seluruh biaya mengobatanku. Aku menyapanya lantas mengucapkan terimakasih.
Kami lantas mengobrol barang sebentar untuk sekedar perkenalan. Dan setelah dirasa cukup, karena wanita itu akan menghadiri agenda, alhasil aku juga memutuskan untuk pamit pulang. Disepanjang perjalanan, entah kenapa hanya wajah wanita tersebut yang terbayang di benak. Harusnya aku bersedih namun justru kali ini kesedihanku mengalir begitu saja tanpa terasa hanya karena mengobrol dengannya barang sebentar.
Tiga minggu perkenalanku dengan Annisa telah berlalu. Dan tepat kemarin malam, entah kenapa aku merasa ada kecocokan antara aku dengannya. Aku memutuskan untuk sholat istikharah meminta petunjuk-Nya. Meyakinkan dan memantapkan hatiku untuk kembali mengulang niat baikku yang kedua kalinya dengan orang yang berbeda.

Dan tepat esok nanti, aku akan melangsungkan akad nikahku dengannya, seseorang yang baru saja aku kenal namun telah mengisi serta menutup semua lukaku yang menganga. Seseorag yang benar-benar layak disebut bidadari dalam hidupku. Seorang yang lemah lembut dan dengan segenap hatiku, kuserahkan seluruh jiwa, raga dan cinta untuk pendamping hidupku, Annisa.
1 Comments for "Jodoh Tak Bisa Dibarter - Pihantini - Lomba Menulis Cerpen"

Dalam penulisan perlu diperhatikan EYD dan belum ada kiasan yang menarik.Kurangnya konflik tetapi endingnya sudah bagus

Back To Top